29 Dec 2011

Secarik Kertas untuk Adik

Kulihat gadis imut
Nan lugu
Nan manis
Duduk di sudut ruangan itu
     Bermain dengan apa saja
     Apa saja yang disekelilingnya
     Kadang dia tersenyum sendiri
     Kadang menangis pula secara spontan
Lalu gadis itu memegang pena
Dibolak-balik
Dibalik lagi dan lagi
Masih bingung mau dibuat apa pena itu

      Kuhampiri gadis dengan rambut ikat itu
      Seraya memelukku sambil memanggil kakak
      Kubalas pula dengan pelukan hangat
      Ku usap pula rambut

Ditunjukkan bolpoin itu padaku
Lalu ku beri secarik kertas padanya
“tulislah apa yg mau kau tulis,
Gambarlah apa yg mau kau gambar”
Ucapku

      Ku biarkan gadis kecil itu menulis takdirnya
      Dengan penanya
      Di kertasku
      Itulah kenapa ku beri secarik kertas untuk adikku
.

         Inilah sebuah puisi untuk adikku tercinta, dan semua adik di dunia, kakak punya pemikiran seperti ini. Semoga bermanfaat. Salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi…. ^_^

24 Dec 2011

Jenis Kepemimpinan ala Jawa

       Ing ngandhap kados pundi lampahing para pemimpin saking ular-ularing para sarjana sujana ing jaman kina. Kula pendhetaken saking lampahan ringit purwa “Wahyu Makutharama, wahyu pikukuhing praja”, anggitan Ki Siswaharsaya. Ing lampahan ringgit purwa piwulangipun Begawan Kesawasidhi dhumateng Arjuna, ingkang mendhet piwulangipun Prabu Ramawijaya dhumateng Gunawan Wibisana, nalika sinengkakaken winisuda dados ratu ing negari Ngalengkadiraja anggentosi kalenggahanipun Prabu Dasamuka. 
Dene wijang-wijangipun kados makaten:
1.
Laku hambeging kisma : Lire tansah murah marang sapa bae kang nyuwun den murahi. Amarga kisma iku tansah ngatonake dedanane. Tanem tuwuh cecukulan minangka bogane sagung dumadi, ora liya saka wulu wetuning bantala. Sanadyan anggane pinulasara ing janma, pinaculan, dhinudhukan, parandene kisma malah ngatonake kamurahane. Mas, sesotya, pepelikan warna-warna dadya kaskayane kang mulasara.
2.
Laku hambeging tirta : Lire : tindak anorraga, lumuh ngungkul-ngungkuli, tan ngendhak gunaning janma. Jer tirta ikui tansah watak warata tur ta dayane anggung ngasrepi dadya usadaning katoran.
3.
Laku hambeging samirana : Lire : tansah naliti sanggya sasana. Tumrap lelabuhaning Nata, tansah niti priksa marang kawula dasih, suker sakit kinawruhan sarana talaten atul. jer lakuning samirana iku anggung nusupi sanggya sasana.
4.
Laku hambeging samodra : Lire : jembar miwah sabar ing panggalih. Kamot momoting panggalih, kapanduking suka kingkin sasadone ingadu manis, datan jujul datan surut lamun kataman ing sak serik sameng dumadi. Jer samodra iku sanyata anglangut tanpa tepi, Kajogan sarah prabatang miwah tirtaning narmada pira-pira, parandene ora sesak ora luber.
5.
Laku hambeging candra : Lire tansah madhangi saindenging bawana. Tumrap lelabuhaning ratu, tansah mamardi pangawikan lan kagunan marang kawula dasih sarana wulanging dwija. Sogata samurwating dununge. Kutha desa sanadyan lengkehing wukir, sadrajat sapangkat padha sinungan pamardi putra.
6.
Laku hambeging baskara : Lire : tansah aweh daya kekiyatan marang sanggya gumelaring jagad, segara nguwab dadi mendhung temah dadi udan, ora liya saka dayane raditya, Bumi mekar nuwuhake thethukulan, iya marga saka kadayang sunaring baskara. Tumrap lelabuhaning ratu, anggung paring kekiyatan marang kawula dasih. Nagkoda, nara kisma, nara karya kang kasekengan, padha antuk sihing nata minangka pawitan. Sanadyan ing tembe kudu nyaur, nanging sarana sarenti sawise ngundhuh wohing karya.
7.
Laku hambeging dahana. Lire : angrampungi. Ora ana sawiji-wiji kang ora lebur dening dahana. Tumrap lelabuhaning nata, pangwak pradata luhur. Sakabehing prakara kang konjuk ngarsa Nata, kudu rampung paripurna kang pinancas kanthi adil paramarta.
8.
Laku hambeging kartika. Hambeg kartika, uga sinebut hambeg wukir. Lire teguh santosa. Sanadyan sinerang maruta sindhung riwut, parandene bayu bajra malah piyak nganan ngering labet kasor prabawa lan adeging wukir. Tumrap lelabuhaning Nata, sabarang kang wus dhumawah, kudu tetep tumindak tan kena.

maturnuwun, mugi-mugi migunani damel sedaya, salam saking Sang Penggembala, Tyas Haryadi.... ^_^

Hari Ayah

Animasi tampang ayah.
       AYAH adalah seorang kepala keluarga, yang posisinya memang sangat urgen di dalam keluarga. Sebagai pencari nafkah, pendidik, dan juga sebagai pengambil kebijakan di sebuah keluarga. Kemarin (22/12) adalah hari ibu sedunia, yang diperingati oleh banyak orang dan seluruh penjuru bumi. Dimana ini sebagai bentuk apresiasi kepada jasa-jasa seorang ibu yang telah melahirkan setiap manusia. Lalu, muncul sebuah pertanyaan. Kenapa tidak ada hari ayah? Atau karena ayah tidak melahirkan?
       Jika menilik dari kodratnya, memang seorang ayah tidak akan bisa melahirkan seperti halnya ibu. Tetapi dari ayahlah muncul sebuah pendidikan untuk menghadapi hidup, dan kasih sayang yang memikirkan jangka panjangnya. Seperti halnya bangsa Indonesia yang sangat murah hati dan memberi apresiasi atas segala bentuk kontribusi. Tentunya para ayah di Indonesia dan juga di dunia tak akan menolak jika ada “hari Ayah”. Selain memberikan apresiasi, hal ini juga akan menaikkan semangat juang para ayah, serta kedepannya akan ada waktu pemompaan semangat para Ayah di hari itu (hari Ayah). Jadi apa salahnya kita memberikan hari Ayah?
      Ini juga kawan yang aku tulis di sebuah gagasan yg dikirimkan kesalah satu surat kabar ternama, tapi yg namanya tujuannya belum bener kali. Jadi sama Allah belum diberi kesempatan untuk tampil, semoga bermanfaat untuk semua. Salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi.... ^_^  

22 Dec 2011

The Legend of Java

The Legend of Java.
       The domain of Nyi Loro Kidul, the legendary queen of the South Seas, is Parangtritis in Central Java. Her hair is green and full of shells and seaweed, and, she holds court over sea nymphs and other creatures of the deep. She is venerated and feared by the Javanese. In fact, they never wear the colour green when entering the sea for fear of offending Nyi Loro Kidul whose hair is green!. 
       ‘The legend of Nyi Roro Kidul herself is very popular. Before turning into a nymph,Nyai Roro Kidul was a young princess named Dewi Kandita, the daughter of King Mundangwangi and his first wife. The popularity of Dewi Kandita and her mother Dewi Rembulan was beyond doubt. They were known for their beauty, kindness and friendliness, and people loved them.
        However, the misery of their lives began when Dewi Mutiara, another wife of King Mundangwangi, known locally as selir, became green with envy and grew ambitions to become the first wife, thereby deserving full affection and attention from the king.
        Dewi Mutiara’s dream came true when one day she bore the son that the king had long been yearning for. Through the assistance of a witch, Dewi Mutiara made the king’s wives Dewi Rembulan and Dewi Kandita suffer from ’strange’ disease, with their bodies covered with scabies that created the odour of fish. The disease led them to be sent into exile in the forest where later Dewi Rembulan died. After a long, hard and helpless journey, the scabies-covered Dewi Kandita eventually arrived at a beach where she met a young, handsome man who promised to cure her illness.
         At the request of the young man, Dewi Kandita chased after him as he ran along the beach. When she reached the water, the man disappeared and, to her surprise, all the scabies had disappeared but, strangely, she could not move her legs. Half her body, from the waist down, had turned into the body of a fish.
Since then she became a sea-nymph, and the locals believe that Nyi Roro Kidul is the manifestation of Dewi Kandita’ by, Sang Penggembala, Tyas Haryadi... ^_^

Hari ibu, sekarang, esok, dan selamanya

22 Desember,
Bukan kali ini saja ku ingat ibu,
Yang melahirkanku, yang membuaiku dalam gendongan,
Menimang-nimang dalam ayunan, menungguku bisa berjalan.
     Ibu, aku hampir lupa akan 22 Desember,
     Bukan karena aku tak cinta akanmu ibu,
     Bukan pula karena diri ini terlalu sibuk dengan urusan sendiri,
     Apalagi tak memikirkan dirimu.
Ibu,
Masih ku ingat selimut hangat kau buat menutupi badanku di malam itu,
Tangisanmu saat melihat luka-luka ditubuhku,
Kekhawatiranmu saat ku dirantau.

      Jika Indonesia punya ibu kota,
      Kau adalah ibuku, di negaraku,
      Negara luas, dihati ini.
      Kau adalah ibu Negara disana.

Kalau bumi ini terbelah, langit akan runtuh,
Aku akan mencarimu ibu,
Anakmu ini memang tak disampingmu, tapi doaku selalu mendampingimu,
Bak angin yg berhembus sepoi tanpa terlihat.

      Kaulah wanita tercantik yang ku temui,
      Ku rindu pelukanmu,
      Ku rindu senyuman hangatmu,
     Dan ku rindu omelan mendidikmu.

Kaulah pelita, sampai nanti aku tiada,
Kaulah embun pagi, sampai berlalu berjuta pagi,
Dan aku berjanji padamu ibu,
Janji darah dagingmu, janji bayi mungilmu dulu,
Hari ibu bagiku, sekarang, esok, selamanya.
Setiap hari adalah untukmu,,,,,, ibu!



Ingatlah kawan, hari ibu itu setiap hari, bukan hanya 22 Desember. mari jadi anak yang berbakti, setiap manusia pasti lahir dari seorang ibu. semoga bermanfaat, salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi.... ^_^

13 Dec 2011

Seribu Rupiah untuk Hutang Indonesia.

Seceng, seribu rupiah.
       Baru saja saya mendapat inspirasi kawan, inspirasi untuk mendapat pemasukan baru, yaitu menulis satu dua kata untuk dimuat di Koran (surat kabar). Dari teman yang sudah dapat fee, dari gagasan yang masuk ke redaksi JawaPos. Subhanallah, emang kantong akhir-akhir ini kembang kempis, jarang ngembang lebih sering ngempis. Yah, itung-itung makin banyak ibadah yang semoga dicatat malaikat rakid. Amin,,,, saya berPIKIR, kenapa saya tidak membuat GAGASAN dengan cara saya sendiri, salah satunya adalah tentang HUTANG Negara kita tercinta, INDONESIA raya, yang dibilang orang tanah subur, sampai insinyur pertanian jual bubur *lirik. Demikianlah singkat saya yang dikirim ke e-mail JawaPos, semoga saja tembus, sudah hutang 3,4 juta, belum dicicil, malah semakin nambah. Alhamdulillah, masih semakin semangat cari duit… ^_^, ni dia tentang SECENG yg berguna untuk negeri ini. -->
        HUTANG Negara Indonesia saat ini membuat masyarakat tercengang. Pemerintah melalui Kementerian Keuangan mencatat total hutang pemerintah per 31 Desember 2010 mencapai Rp 1.676 triliun. Pernah saya membaca sebuah kisah tentang banyaknya hutang Negara Cina, sehingga pemerintah menggalakan satu butir beras tiap orangnya tiap kali makan. Dan hasilnya hutang Cina pun berkurang, bahkan lunas dengan beras satu butir. Lalu kenapa kita tidak menggalakan seribu rupiah perhari untuk hutang Indonesia.
        Dalam pendataan penduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31 Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jika setiap kepala memberikan seribu maka sehari Indonesia bisa mendapat Rp.259.940.857.000,- jika setahun? Kalikan saja 356, dan bisa jadi tidak perlu waktu lama maka hutang negeri ini akan segera tutup buku. Tentu dengan syarat terpenting, tidak dikorupsi. Efek dari uang seribu ini tidak hanya untuk menutup hutang Negeri tercinta, tetapi juga meningkatkan rasa memiliki Negeri dan Nasionalisme.
TYAS HARYADI, Mahasiswa Jurusan Teknik Informatika UIN Maliki Malang.
        Keren juga tu nama TYAS HARYADI, mampang lagi di JawaPos. Masih inget waktu SMA dulu, wajah nampang di RADAR MADIUN, senengnya orang tua oe,,, belum lagi waktu akhir SMA jg sempat masuk TV di acara jejak petualang. Sekeluarga besar mpe luangin waktu khusus buat nonton, sampai ada yg beli HP komplit TV. Ngaco sedikit tapi semoga bermanfaat kawan, salam dari Sang Penggembala. Tyas Haryadi…. ^_^

10 Dec 2011

Galau rasa Gula

Hari ini seperti biasa
Tiada kata sepesial ataupun luar biasa
Seperti katak dalam tempurung, layaknya hati yang terkurung
Buat langkah tak berarah, terdiam seakan pasrah
     Bukan masalah dungu
     Mungkin sekedar debar-debar rasa rindu
     Seakan seperti takut kutu
     Atau malah ingin seperti kutu
Kebingungan memuncak sebelum waktunya sampai puncak
Tapi cukup dengan ketenangan serta senyuman
Langkahkan kaki dengan pasti
Nikmati waktu sebentar agar terasa lama

      Tokek dan cicak
      Jadi naga serta komodo
      Segala yang bosan, monoton, dan tak berarti
      Jadi pelipur hati, sumber senyum dan penghibur

Kata, ucap, dialog, monolog
Kanan , kiri, depan, belakang
Gadang linglung, semakin tak mengerti
Tapi asyik, menghibur dan penuh arti
Itu yang ku suka,
Galau rasa gula.

       Semoga bermanfaat kawan puisi kali ini tentang bagaimana sebuah kegalauan bisa jadi sesuatu yg indah jika kita nikmati hayati dan jalani menjadi suatu hal positif dan berguna bagi orang banyak dan banyak orang karena galau itu manis semanis gula. Salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi …. ^_^

Raja-raja tanah jawa

Pakubuono X beserta istri.
       Jika kita menilik daerah jawa yang dahulu sangat kental dengan budaya jawa, tentu kita akan membutuhkan beberapa hal yang berkaitan dengan itu semua. Salah satu yang perlu kita ketahui atau minimal sebagai referensi adalah Raja-raja yang dahulu pernah mengusai tanah jawa. Siapa sajakah mereka itu? Demikianlah sebagian besar Raja-raja itu beserta tahun pemerintahan, kerajaan serta dinastinya :

Dinasti Syailendra
Bhanu (752-775)
Wisnu (775-782)
Indra (782-812)
Samaratungga (812-833)
Pramodhawardhani (833-856), menikah dengan Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya)
 
Dinasti Sanjaya
Sanjaya (732-7xx)
Rakai Panangkaran (tidak diketahui)
Rakai Patapan (8xx-838)
Rakai Pikatan (838-855), mendepak Dinasti Syailendra
Rakai Kayuwangi (855-885)
Dyah Tagwas (885)
Rakai Panumwangan Dyah Dewendra (885-887)
Rakai Gurunwangi Dyah Badra (887)
Rakai Watuhumalang (894-898)
Rakai Watukura Dyah Balitung (898-910)
Daksa (910-919)
Tulodong (919-921)
Dyah Wawa (924-928)
Mpu Sindok (928-929), memindahkan pusat kerajaan ke Jawa Timur (Medang)
 
Medang
Mpu Sindok (929-947)
Sri Isyanatunggawijaya (947-9xx)
Makutawangsawardhana (9xx-985)
Dharmawangsa Teguh (985-1006)
 
Kahuripan
Airlangga (1019-1045), mendirikan kerajaan di reruntuhan Medang
(Airlangga kemudian memecah Kerajaan Kahuripan menjadi dua: Janggala dan Kadiri)
Janggala
(tidak diketahui silsilah raja-raja Janggala hingga tahun 1116)
Kediri
(tidak diketahui silsilah raja-raja Kadiri hingga tahun 1116)
Kameswara (1116-1135), mempersatukan kembali Kadiri dan Panjalu
Jayabaya (1135-1159)
Rakai Sirikan (1159-1169)
Sri Aryeswara (1169-1171)
Sri Candra (1171-1182)
Kertajaya (1182-1222)
Singhasari
Ken Arok (1222-1227)
Anusapati (1227-1248)
Tohjaya (1248)
Ranggawuni (Wisnuwardhana) (1248-1254)
Kertanagara ( 1254-1292)
 
Majapahit
Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) (1293-1309)
Jayanagara (1309-1328)
Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328-1350)
Hayam Wuruk (Rajasanagara) (1350-1389)
Wikramawardhana (1390-1428)
Suhita (1429-1447)
Dyah Kertawijaya (1447-1451)
Rajasawardhana (1451-1453)
Girishawardhana (1456-1466)
Singhawikramawardhana (Suraprabhawa) (1466-1474)
Bhre Kertabhumi (Brawijaya) (1468-1478)
Girindrawardhana (1474-1519)
 
Demak
Raden Patah (1478 – 1518)
Pati Unus (1518 – 1521)
Sultan Trenggono (1521 – 1546)
Sunan Prawoto (1546 – 1561)
        Pajang
Jaka Tingkir, dikenal juga sebagai Sultan Hadiwijoyo (1561 – 1575?)
        Mataram Islam 
Ki Ageng Pemanahan, menerima tanah perdikan Mataram dari Jaka Tingkir
Panembahan Senapati (Raden Sutowijoyo) (1575 – 1601)
Sunan Prabu Hanyakrawati (1601 – 1613), dikenal juga sebagai Sunan Seda Krapyak
Sultan Agung (Prabu Hanyakrakusuma) (1613 – 1645)
Amangkurat I (1645 – 1677), dikenal juga sebagai Sinuhun Tegal Arum
Amangkurat II (1677 – 1703)
Amangkurat III (1703 – 1705)
Pakubuwana I (1705 – 1719), dikenal juga sebagai Sunan Puger
Amangkurat IV (1719 – 1727), memindahkan istana ke Kartasura
Kasunanan Surakarta
Pakubuwana II (1727 – 1749), memindahkan kraton Kartasura ke Surakarta pada tahun 1745
Pakubuwana III (1749 – 1788)
Pakubuwana IV (1788 – 1820)
Pakubuwana V (1820 – 1823)
Pakubuwana VI (1823 – 1830), juga dikenal dengan nama (Pangeran Bangun Tapa)
Pakubuwana VII (1830 – 1858)
Pakubuwana VIII (1859 – 1861)
Pakubuwana IX (1861 – 1893)
Pakubuwana X (1893 – 1939)
Pakubuwana XI (1939 – 1944)
Pakubuwana XII (1944 – 2004)
Pakubuwana XIII (Tedjowulan) (2005-sekarang)
Kasultanan Yogyakarta
Hamengkubuwana I (Sultan Mangkubumi) (1755 – 1792)
Hamengkubuwana II (1793 – 1828)
Hamengkubuwana III (1810 – 1814)
Hamengkubuwana IV (1814 – 1822)
Hamengkubuwana V (1822 – 1855)
Hamengkubuwana VI (1855 – 1877)
Hamengkubuwana VII (1877 – 1921)
Hamengkubuwana VIII (1921 – 1939)
Hamengkubuwana IX (1939 – 1988)
Hamengkubuwana X (1988 – sekarang)
Kadipaten Mangkunegaran
Mangkunagara I (Raden Mas Said) (1757 – 1795)
Mangkunagara II (1796 – 1835)
Mangkunagara III (1835 – 1853)
Mangkunagara IV (1853 – 1881)
Mangkunagara V (1881 – 1896)
Mangkunagara VI (1896 – 1916)
Mangkunagara VII (1916 -1944)
Mangkunagara VIII (1944 – 1987)
Mangkunagara IX (1987 – sekarang)
Pakualaman
Paku Alam I (1813 – 1829)
Paku Alam II (1829 – 1858)
Paku Alam III (1858 – 1864)
Paku Alam IV (1864 – 1878)
Paku Alam V (1878 – 1900)
Paku Alam VI (1901 – 1902)
Paku Alam VII (1903 – 1938)
Paku Alam VIII (1938 – 1998)
Paku Alam IX (1998 – sekarang)
Demikianlah nama-nama Raja beserta masa jabatan + kerajaan, semoga bermanfaat, salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi…. ^_^

Trenggalek, tepian samudera Hindia

Pantai Pasir Putih Trenggalek.
       Serangkaian puzzle selalu terbagi dari berbagai bagian untuk menjadi suatu kesatuan yg lebih indah dan utuh. Begitu pula yang namanya kota di sebuah provinsi, privinsi di sebuah pulau, pulau disebuah Negara, ini berlaku untuk Indonesia kawan. Puzzle provinsi Jawa Timur kali ini sampai di sebuah kabupaten dengan nama Trenggalek. Sebuah kabupaten yang berada antara Tulungagung, Ponorogo, dan Pacitan. Saya belum sempat menjelajah sampai habis di kota yang luasnya 1.205,22 km² ini, bahkan untuk tempat wisatanya baru candi Brokah yang pernah saya dinggahi kawan. Tapi satu pembelajaran yang saya dapat dari sini *untuk menilai positif sesuatu tak perlu waktu lama untuk mengenal, tak perlu terlalu detil dalam memandang. Cukuplah kita ambil sisi baiknya dan mampu memberi hikmah untuk kita. * kata bijak kali ini kawan… :D
        Saya hanya beberapa kali pula lewat trenggalek kawan, yaitu ketika mengikuti lintas alam Lindri LandRock yang telah memecahkan rekor MURI. Yang diadakan di tulung agung, karena rumah ortu berada di Magetan, otomatis harus lewat kota yang penuh pegunungan ini kawan. Selain itu saya pulang dari blitar pernah sepedahan motor ke Magetan lewat kota ini, dan akhirnya sekali silaturohim ke rumah teman-teman yang ada disana. Sesuatu sekali melihat sebuah cermin kecil dari kota nan besar, dapat kita ambil dari contoh sekitar yang kita lihat.
        Melihat sekilas Trenggalek punya keindahan dari pegunungannya, yang memang indah, tak terlalu lebat oleh tanaman (ciri khas kota pinggiran). Penduduk yang masih satu rumput budaya, bahasa, dan juga postur tubuh dengan plat AE (karisidenan Madiun). Keramahan para penduduknya, yang saya ambil dari keramahan teman-teman saya beserta keluarganya. Dengan segala potensi yang ada ini, kelaknya kota Trenggalek bisa lebih baik dan memiliki income serta memberi kesejahteraan untuk para masyarakatnya. Dua rumah kawan yang sudah kami kunjungi di Trenggalek adalah rumah saudaru Zami dan saudara Fahri, sama-sama teman satu jurusan, satu angkatan. Terimaksih untuk kedua teman saya ini beserta keluarganya, karena telah merepotkan, nanti kalo kesana dijamu lagi ya! ^_^
         Adapun beberapa tempat wisata di Trenggalek yang patut dipertimbangkan untuk dikunjungi, setahu saya waktu searching dah seperti berikut:
1. Guo Lowo. Merupakan salah satu gua terbesar dan terpanjang di Asia Tenggara.
2. Pantai Prigi. Pusat pariwisata dan perekonomian warga Kecamatan Watulimo. Terdapat tempat pelelangan ikan dan merupakan Pelabuhan Nusantara.
3. Pantai Pasir Putih. Kurang lebih 2 km dari Pantai Prigi. Terkenal karena pasirnya yang putih bersih.
4. Pantai Pelang. Pantai yang terletak di Kecamatan Panggul ini mempunyai keindahan yang luar biasa. Memiliki air terjun dan pulau kecil-kecil yang indah.
5. Larung Sembonyo. Upacara adat pesisir yang selalu menarik perhatian wisatawan asing maupun domestik. Diadakan setahun sekali di Pantai Prigi.
6. Pemandian Tapan. Terletak di Kecamatan Karangan, merupakan kolam pemandian alami yang berada di kawasan pegunungan yang airnya langsung dari sumber sehingga terjamin kebersihannya.
7. Upacara Dam Bagong. Diadakan setiap tahun sekali dengan mempersembahkan kepala kerbau untuk di larung di Kali Bagong.
8. Candi Brongkah. Merupakan candi yang berisi sejarah asal-usul Trenggalek.
9. Alun-alun Kota. Sarana rekreasi keluarga yang selalu ramai dikunjungi warga Trenggalek, terutama pada malam minggu, serta pada hari hari menjelang proklamasi kemerdekaan RI dimana di alun alun kota trenggalek diadakan bazaar dan taman hiburan rakyat yang dapat menghibur anak anak maupun orang dewasa
10. Tari Turonggo Yakso. Merupakan tarian khas Kabupaten Trenggalek.
        Ternyata subhanallah juga ya, pastikan nanti kalau berkunjung ke Trenggalek kita mampir dulu ke tempat wisata ini kawan. Semoga bermanfaat salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi…. ^_^

8 Dec 2011

Mengenal Sastra Jawa Kuno

       Sastra Jawa Kuno atau seringkali dieja sebagai Sastra Jawa Kuna meliputi sastra yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna pada periode kurang-lebih ditulis dari abad ke-9 sampai abad ke-14 Masehi, dimulai dengan Prasasti Sukabumi. Karya sastra ini ditulis baik dalam bentuk prosa (gancaran) maupun puisi (kakawin). Karya-karya ini mencakup genre seperti sajak wiracarita, undang-undang hukum, kronik (babad), dan kitab-kitab keagamaan. Sastra Jawa Kuno diwariskan dalam bentuk manuskrip dan prasasti. Manuskrip-manuskrip yang memuat teks Jawa Kuno jumlahnya sampai ribuan sementara prasasti-prasasti ada puluhan dan bahkan ratusan jumlahnya. Meski di sini harus diberi catatan bahwa tidak semua prasasti memuat teks kesusastraan.
        Karya-karya sastra Jawa penting yang ditulis pada periode ini termasuk Candakarana, Kakawin Ramayana dan terjemahan Mahabharatada dalam
bahasa Jawa Kuno. Karya sastra Jawa Kuno sebagian besar terlestarikan di Bali dan ditulis pada naskah-naskah manuskrip lontar. Walau sebagian besar sastra Jawa Kuno terlestarikan di Bali, di Jawa dan Madura ada pula sastra Jawa Kuno yang terlestarikan. Bahkan di Jawa terdapat pula teks-teks Jawa Kuno yang tidak dikenal di Bali.
        Penelitian ilmiah mengenai sastra Jawa Kuno mulai berkembang pada abad ke-19 awal dan mulanya dirintis oleh Stamford Raffles, Gubernur- Jenderal dari Britania Raya yang memerintah di pulau Jawa. Selain sebagai seorang negarawan beliau juga tertarik dengan kebudayaan setempat. Bersama asistennya, Kolonel Colin Mackenzie beliau mengumpulkan dan meneliti naskah-naskah Jawa Kuno.
Mengenai istilah Jawa Kuno
         Istilah sastra Jawa Kuno agak sedikit rancu. Istilah ini bisa berarti sastra dalam bahasa Jawa sebelum masuknya pengaruh Islam atau pembagian yang lebih halus lagi: sastra Jawa yang terlama. Jadi merupakan sastra Jawa sebelum masa sastra Jawa Pertengahan. Sastra Jawa Pertengahan adalah masa transisi antara sastra Jawa Kuno dan sastra Jawa Baru. Di dalam artikel ini, pengertian terakhir inilah yang dipakai.
        Tradisi penurunan Sastra Jawa Kuno yang terlestarikan sampai hari ini sebagian besar diturunkan dalam bentuk naskah manuskrip yang telah disalin ulang berkali-kali. Sehingga mereka jarang yang tertulis dalam bentuk asli seperti pada waktu dibuat dahulu, kecuali jika ditulis pada bahan tulisan yang awet seperti batu, tembaga dan lain-lain. Prasasti tertua dalam bahasa Jawa Kuno berasal dari tahun 804, namun isinya bukan merupakan teks kesusastraan. Teks kesusastraan tertua pada sebuah prasasti terdapat pada Prasasti Siwagreha yang ditarikh berasal dari tahun 856 Masehi. Sedangkan naskah manuskrip tertua adalah sebuah naskah daun nipah yang berasal dari abad ke-13 dan ditemukan di Jawa Barat. Naskah nipah ini memuat teks Kakawin Arjunawiwaha yang berasaldari abad ke-11.
Tinjauan umum
         Banyak teks dalam bahasa Jawa Kuno yang terlestarikan dari abad ke-9 sampai abad ke-14. Namun tidak semua teks-teks ini merupakan teks kesusastraan. Dari masa ini terwariskan sekitar 20 teks prosa dan 25 teks puisi. Sebagian besar dari teks-teks ini ditulis setelah abad ke-11.
Puisi Jawa lama
Daftar Karya Sastra Jawa Kuno dalam bentuk prosa :
1.Candakarana
2.Sang Hyang Kamahayanikan
3.Brahmandapurana
4.Agastyaparwa
5.Uttarakanda
6.Adiparwa
7.Sabhaparwa
8.Wirataparwa, 996
9.Udyogaparwa
10.Bhismaparwa
11.Asramawasanaparwa
12.Mosalaparwa
13.Prasthanikaparwa
14.Swargarohanaparwa
15.Kunjarakarna
 
Candakarana
         Candakarana adalah semacam kamus atau bisa juga disebut ensiklopedia Jawa Kuna dan versinya yang paling awal kira-kira ditulis pada abad ke-8 Masehi.
Para pakar menduga periode yang sangat awal ini karena kitab ini memuat nama Syailendra. Sedangkan raja Syailendra yang membangun candi Borobudur ini diperkirakan memerintah pada akhir abad ke-8 Masehi.
 
Sang Hyang Kamahayanikan
          Sang Hyang Kamahayanikan adalah sebuah karya sastra dalam bentuk prosa. Di bagian belakang disebut nama seorangraja Jawa, yaitu Mpu Sendok, yang bertakhta di Jawa Timurmulai dari tahun929 sampai tahun 947 Masehi.isinya mengenai pelajaran agama Buddha Mahayana. Kebanyakan mengenai susunan perincinan dewa-dewa dalam mazhab Mahayanaan kerapkali cocok dengan penempatan raja-raja Buddha dalam candi Borobudur. Selain itu ada pula tentang tatacara orang bersamadi.
 
Brahmandapurana
         Brahmandapurana adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Karya sastra ini tidak memuat penanggalan kapan ditulis dan oleh perintah siapa. Tetapi dilihat dari gaya bahasa kemungkinan berasal dari masa yang sama dengan Sang Hyang Kamahayanikan. Namun ada perbedaan utama, yaitu Sang Hyang Kamahayanikan adalah kitab kaum penganut agama Buddha Mahayana sedangkan Brahmandapurana ditulis untuk dan oleh penganut agama (Hindu) Siwa.
I         sinya bermacam-macam, seperti cerita asal-muasalnya dunia dan jagatraya diciptakan, keadaan alam, muncul empat kasta (brahmana, ksatria, waisya dan sudra), tentang perbedaan tahap para brahmana (caturasrama) dan lain-lain.
 
Agastyaparwa
         
Agastyaparwa adalah sebuah karya sastra Jawa Kuna berbentuk prosa. Isinya mirip Brahmandapurana. Meski Agastyaparwa tertulis dalam bahasa Jawa Kuna, namun banyak disisipi seloka-seloka dalam bahasa Sansekerta.
Isinya mengenai hal-ikhwal seorang suci yang disebut sang Dredhasyu yang berdiskusi dan meminta pengajaran kepada ayahnya sang bagawan Agastya. Salah satu hal yang dibicarakan adalah soal mengapa seseorang naik ke surga atau jatuh ke neraka.
 
Uttarakanda
          Uttarakanda adalah kitab ke-7 Ramayana. Diperkirakan kitab ini merupakan tambahan. Kitab Uttarakanda dalam bentukprosa ditemukan pula dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya tidak diketemukan dalam Kakawin Ramayana. Di permulaan versi Jawa Kuna ini ada referensi merujuk ke prabu Dharmawangsa Teguh.
Isi
• Cerita Rahwana
o Terjadinya para raksasa, nenek moyang Rahwana atau
Rawana
o Cerita Serat Arjunasasrabahu
• Cerita Dewi Sita
o Pembuangan Sita di hutan, karena sudah lama tidak di sisi
Rama
o Kelahiran Kusa dan Lawa di pertapaan di hutan
o “Kematian” Sita Adiparwa
Adiparwa (Sansekerta ) adalah buku pertama atau bagian (parwa) pertama dari kisahMahabha rata. Pada dasarnya bagian ini erisi ringkasan keseluruhan cerita Mahabharata, kisah-kisah mengenai latar belakang ceritera, nenek moyang keluargaBhara ta, hingga masa muda Korawa danPandawa). Kisahnya dituturkan dalam sebuah cerita bingkai dan alur ceritanya meloncat-loncat sehingga tidak mengalir dengan baik. Penuturan kisah keluarga besar Bharata tersebut dimulai dengan percakapan antara Bagawan Ugrasrawa yang mendatangi Bagawan Sonaka di hutan Nemisa
         Itulah sedikit tentang Sastra jawa kuno, yang saya referensi dari Wikipedia. Semoga bermanfaat lan migunani dumateng kula lan pajenengan sedoyo. Salam saking Sang Penggembala, Tyas Haryadi…. ^_^

7 Dec 2011

Kota Reog yang semakin elok, di Ponorogo

Masjid agung ponorogo.
       Sudah berkali-kali mungkin diri ini berkunjung ke tetangga kabupaten, kota Reog, Ponorogo. Tetapi belum sempat tangan ini mengetikkan kata-kata indah nan dibumbui fakta serta beradu antara subjek serta objek, agar menjadi sebuah karya yang menggugah (bukan membangunkan orang tidur), terlebih bermanfaat untuk yang lain. Kali ini saya akan bercerita sedikit yang saya tahu tentang Kota Ponorogo, di selatan kabupaten saya, Magetan. Saya masih ingat ketika saya beberapa kali bermain ke Ponorogo pada malam hari di waktu SMA dahulu, itupun dengan kawan. Cukup menarik hati, karena memiliki karakteristik berbeda dengan kota-kota lain yang sudah saya kunjungi kawan. Di kota Reog ini sangat memiliki lingkungan nan hijau, walau masih terkesan lebih panas dari Magetan karena bukan daerah pegunungan.
        Ketika melakukan perjalanan ke Pacitan, saya mampir dulu kerumah saudara se jurusan TI (teknik informatika) UIN Maulana Malik Ibrahim Malang angkatan 2009. Dan juga saudara se kakek nabi Adam AS dan nenek Siti Hawa. Rifki Baidhowi namanya, bermata empat pula, tapi tak berkaki empat kawan. Rumahnya, rumah orangtuanya dekat dengan terminal Ponorogo, yang jalannya memenuhi standar jalan persawahan dahulunya. Tetapi waktu itu subhanallah, licin sekali kawan, tapi belum selicin lidah manusia. Disana saya menyerahkan STNK sepeda motor bukan merk Indonesia *tak saya sebutkan, krn kan lagi galakkan “cinta produk dlm negeri”. :D,,, Sambil pinjam stik PS untuk main PES di pacitan. ~> baca Potensi yang belum terpotensikan.
        Lalu saya melewati kota yang didiami pondok pesantren modern “DARUSSALAM, GONTOR”. Jalanan memang belum terlalu bagus dan terlalu luas, dibandingakan dengan jalan-jalan jalur utama lainnya. Saya masih ingat di Ponorogo ini terdapak kampung miskin, karena penduduk disuatu kampung terlalu banyak orang yang berada dibawah garis kemiskinan. Ada pula kampung idiot, dimana kebanyakan orangnya disuatu kampung memiliki keterbelakangan mental, bahasa kerennya idiot. Tapi saya menemui beberapa putra daerahnya punya kemampuan diatas rata-rata kawan. Walaupun Cuma bisa dikatakan itu sebagai sample, ramahnya juga masih ada kawan, ketika saya bertanya dan bertamu sambutannya memang orang jawa banget.
        Saya masih teringat dengan telaga ngebel, lalu naik ke atas di air terjunnya. Memang subhanallah pokoknya, telaga yg luas penuh dengan ikan-ikan nan enak tentunya kalau dibakar ditambah bumbu-bumbu mantap. Air terjun yang sudah lama pula tak saya kunjungi, masih teringat disana ketika menikmati percikan air, berjalan dibawah dedaunan pohon kopi. Selain itu juga ada kebun binatang mini, diatas telaga. Ada rusa dan merak yang pernah saya sentuh dan saya foto tentunya, sebagai kenang-kenangan dan bibit pembelajaran fotographi. ^_^
        Ada pula alun-alun nan sangat luas dan ramai dengan mainan, makanan, jualan, dan serba-serbinya, apalagi untuk malam harinya. Adapula masjid agungnya, Nampak sudah lama, jika melihat di dalamnya, tapi diluarnya mungkin sudah dipugar, nyaman sekali beribadah disana kawan. Kantor DPRD yang lebih mirip dengan kantor pencakar langit, atau hotel ini menjadi ikon pula untuk kota Ponorogo disamping ada patung singa semacam yang ada di singapura. Dilihat dari peta, kabupaten ini cukup luas, memiliki perbatasan langsung dengan jawa tengah pula. Daerahnya lebih luas adalah daerah pedesaan, sedikit gersang jika memasuki musim kemarau, dan terkadang terkena banjir atau longsor ketika musim penghujan.
        Ponorogo belum saya lumat habis, hanya mampir ke beberapa rumah orang tua temen. Ada bukit-bukit disekitar kotanya, bahkan saya sudah membuat janji untuk suatu saat berjalan-jalan disana kelak. Semoga kelak bisa menepati janji itu, amin… kawan, ponoorogo memang belum lama saya jalan-jalan kesana, tapi potensi budaya dan pemaksimalkan pertanian serta perkebunan memang harus ditingakatkan oleh kaum pemudanya, dan semua elemen. Karena kita negeri agrari dan kaya akan budaya pula. Inilah singkat cerita saya tentang Ponorogo kawan, semoga bermanfaat. Salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi…. ^_^
sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com