15 Jul 2010

Merintis karier ngamen di kota gudeg

      Orang indonesia mana yang g’kenal dengan kota gudeg, yups bener banget. Kota yang kalau dipanggil berkali-kali g’jawab, karena punya gangguan ditelinga. Keliru ya? Gudeg adalah makanan yang lebih enak dari opor ayam, lebih gurih dibanding bubur ayam (kata orang jogja sie). Padahal makanan yang berbahan baku tewel (nama kerennya nangka) memang luar biasa enak menurut saya, apalagi pas waktu kelaparan, gak ada makanan lain, duit abis, n hanya itu yang gratis. Pasti makanan di restoran terkenalpun kalah telak, bahkan ketinggalan jauh (asal g’ke over lap aja).
      Kelamaan mukodimah ya? Makin lama mukodimah kan makin loyo, jadi makin mudah paham cerita ini tanpa ada pertanyaan panjang lebar. Saya mulai saja dengan membaca basmalah, maaf buat yang lain agama baca yang menurut anda aja, jangan ikut-ikut, saya jadi g’enak sama pemuka agama anda (ntar dikira nyaingi).Seperti biasa, kalau sudah ada waktu akhir-akhir proker (program kerja bukan protes dan kerusuhan) pasti ada namanya pertanggung jawaban. Saya yang menjadi ketua pramuka pada waktu SMA (bukan maksud hati sombong, tapi emang g’ada yang bisa disombongin lagi), mempunyai ide untuk mempertanggung jawabkan USHP (uang sisa hasil perkemahan) untuk kepentingan pramuka.
       Akhirnya setelah berduel 11 lawan 11, bertemu skor telak 20-2 untuk mempertanggung jawabkan USHP dengan memanfaatkannya sebagai dana tour jogja. Sesuatu yang sangat bijak menurut kami, karena dengan begitu akan banyak yg meneruskan jadi senior (karena pramuka juga kaya), memberi kesempatan otak kami memikirkan masa depan bangsa (dengan melihat pasangan-pasangan di parang tritis, walau kadang kepingin). Dan hari keberangkatan ke kota pendidikanpun sudah datang, tanpa basa-basi dan sedikit wira-wiri kami (team of camp scool) langsung bergegas melangkahkan kaki ke bus TNI AU untuk menuju medan nyali, yang bahagia, dan teringat sepanjang jalan kenangan.
      Dalam perjalananpun kami membuat perjanjian (bukan konfrensi meja bundar atau janji sucinya yovie n the nuno), tapi janji sebaju secelana. “barang siapa yang tidak berani ngamen di jogja nanti, siap-siap pulang tanpa baju dan celana. Akan tetapi siperkenankan menggunakan kolor.” Kurang lebih seperti itu kalau didramatisir dengan teks bahasa indonesia, karena janji kami janjine tole jadi 100% jawa banget. Janji ini dibuat oleh tiga orang, para gladiator lapangan pramuka, yang paling pintar ngomel +mencari kesalahan, tapi baik-baik n cakep-cakep, cerdas lagi (karena saya termasuk salah satunya). Sehingga memaksa saya untuk bereksperimen lagu sebisanya, dengan akor semampunya juga, yang penting g’bikin orang lain tutup telingan.
      Jogjapun menyambut kami, ahlan wasahlan kata orang keraton, welcome kata orang pesisir, dan para mahasiswa mengatakan sugeng rawuh. “jogja, jogja, jogja!” teriak kami secara serempak, tanpa malu mengcopy iklan di tv, dan di paste pada saat itu. Beruntung tujuan pertama adalah pantai parang tritis, waktu masih siang bolong jadi belum waktunya pangeran panggung turun. So, nikmati aja suasana laut sambil nyelem barangkali ada cewek yang nyangkut di dasar pantai, bisa dijadiin teman renang. Daripada lihat pasangan-pasangan yang lagi rapat tertutup ditempat terbuka(g’peduli dengan suasana sekitar, apalagi pengamen), beruntung belum jadi ngamen disini. Sudah capek-capek nyanyi, malah dapat tontonan live, dapet dosa karena nonton gituan, bikin kepicut juga (walau persentase kecil, tapi juga pengen), pokoknya enakan minum air laut lah, asin tapi bikin ketagihan.
      Setelah waktu 2 X 120 menit berakhir, kami melanjutkan ke tempat yang cukup manjanjikan untuk ngamen tentunya (alun-alun jogja dan pasar marioboro). Jantung mulai berdetak, berdetak labih kencang seperti genderang mau perang (maaf mas dani, sedikit terbawa suasana). G’kebayang kalau pulang Cuma pake kolor, syukur kalo kolor bagus atau jebol, tapi saya tetap mencoba meyakinkan diri agar perut yang buncit ini tidak terekspos oleh teman-teman yang super jahil. Tapi g’mungkin saya menyerah sebelum bertempur, maju tak gentar membela perut yang sedikit melar.
       Kamipun turun dari elang biru (bus TNI AU), gimana g’bangga wisata dengan bus TNI, AU pula. Biyarpun seperti bus ekonomi tapi full AC (angin cendela), dan baunya hummm, khas banget keringat TNI, jadi pengen punya profesi TNI. Tapi mau bagaimana lagi, saya sudah terjun ke dunia keartisan sejak perjanjian tadi diresmikan. Sayapun melangkahkan kaki ke marioboro, dengan mantap tanpa ragu, dengan memutar otak sampai jungkir balik (untuk badan ini g’ikut jungkir balik). Sampai juga akhirnya di pasar seribu dagangan, bukan karena banyaknya dagangan, tapi lebih kepada harganya yang masih menyentuh harga ribuan rupiah.
       Masuk pasar bukannya cari duit (dengan ngamen), melainkan beli pakaian, habisnya lumayan juga Rp53.000,-(untuk ukuran kantong saya). Setelah saya geledah semua saku dan sudut-sudut terpencil pada dompet, yang tersisa Cuma Rp50.000,-. Negosiasi alot dengan dengan ibu penjualpun terjadi, begitu kokoh ibu penjual tidak mau memberi kortingan lagi. Dalam waktu singkat otak saya harus tiarap, jongkok, berdiri untuk menemukan ide agar devisit Rp3.000,- ini menjadi sesuatu yang dapat siselesaikan tanpa ada transaksi utang piutang. Teman sayapun lewat dengan menenteng gitar, uhui, otak sayapun loncat kegirangan, langsung saya sabet itu gitar. Dengan wajah melankolis, dan bersikap dramatis,dikemas bahasa teoritis saya merayu ibu penjual untuk ngamen perlagu Rp1.000,- “deal.”
      Tiga buah lagu merdu yang sederhana, dan yang akornya saya bisa tentunya membuat tragedi ngutang mengutang tak terjadi. Saya seperti memperoleh gol penyeimbang kedudukan dan berniat membalikkan keadaan, “inilah saatnya moment kebangkitan, merdeka”. Selangkah demi selangkah kami susuri jalan menuju alun-alun, dan sayapun mendapat personel baru (teman pejanjian tadi). Berdua kami menghampiri dua wanita yang sedang duduk ngobrol,dari dandanannya mereka mahasiswi, cukup eksentrik, tapi sedikit jauh dari kata menarik (menurut saya). “mau numpak ngamen mbak. Kata orang mirip buaya, tapi bagiku luna maya,,,,”, belum sepat ganti akor dua kali, “stop, stop. G’seru kalau lagunya dari situ, request zagy dogí” ucap salah satu dari mbak-mbak itu. Wah, jenis anjing yang seperti apa pula itu (pikir saya, sembari tengok kanan kiri seperti orang blo’on, padahal cerdas sekali). “Kalau g’bisa balonku ada lima aja.” Cetus si cewek sumpret itu (maaf ya mbak, kalau anda baca tulisan saya ini, tapi anda emang bener-bener sumpret). “Balonku ada lima, rupa-rupa warnanya,,,,,,” kmi menyanyi dengan sedikit lantang supaya jadi obat pelipur malu dan lara hati, sekaligis menutupi kesalahan akor.
      Rp1.000,- itu yang kami dapat, banyak mintanya ngasihnya g’seberapa pula, sumpret (oh ya, tadi sudah minta maaf, saya g’akan ngulangi lagi mbak sumpret). Setelah selesai dengan mbak itu kamipun melanjutkan ke alun-alun kota, kami melihat sepasang bule yang lagi istirahat. “excuse me mr, numpang ngamen. Pernah ada, rasa cinta antara kita kini tinggal kenangan…..” lagu hampir setengah, eh, mereka malah pergi. “i’m sorry, I’sorry.”, saya maafin kok mr, moga makin kere aja ya. Semoga jadi dermawan seperti pasangan-pasangan orang pribumi, setelah pil extra pahit dari bule tadi, kamipun g’perlu lama-lama main. Karena kami bertambah personil lagi (bisa buat band ni lama-lama), tiga orang jadi team ngamen (komplit sudah).
     Konsumen-konsumen selanjutnya adalah pasangan-pasangan pribumi, walupun hanya gopek, tapi belum sempat pindah akor mereka langsung merogoh saku, megambil kembalian parkir, atau kembalian beli kue.
Lain lain dengan satu pendengar yang kebetulan juga bule laki-laki, kami nyanyikan lagu geby yang judulnya tinggal kenangan. Sampai lagu habis dia memdengarkan sambil tesenyum lebar, kamipun semakin semangat menyanyikan lagu itu. Walaupun suara pas-pasan, iringan musik msih g’ karuan, tapi apresiasinya cuy. Setelah memberi applause beliau berucap “saya sangat suka orang yang mempunyai jiwa seni” sambil mengeluarkan ribuan empat lembar, “terimakasih banyak mr.” dan akhirnya kami memutuskan untuk kembali ke bus.       Ternyata sejak tadi kami sudah di awasi oleh pengamen daerah setempat (bukan karena kami cakep n cerdas, tapi mungkin tangan mereka sudah gatal mau nonjok muka orang). Sekali lagi bus TNI UA bikin kami bangga dan selamat, mereka g’berani menjamah ke bus, dan kamipun bisa menikmati Rp.11.000,- hasil merintis karier ngamen di kota gudeng.
       Dan kami putuskan untuk membeli kopi jogja, warnanya lebih mirip air kobokan (g’hitam, bahkan lebih berwarna the). But, setelah satu tegukan, subhanallah, kaya lihat film bokep aja ni mata g’mau nutup-nutup. Pancen kopi jogja the best, g’bisa dasangganh dengan amandemen sekalipun.itulah pengalaman gila saya, walau tak semematikan PDI n PDII, tak sedramatikal Titanic, Tak semelegenda kisah nabi dan rosul. Tapi cukup memmberi kenangan dihati, senyum kecil di lesung pipi, tawa yang memperlihatkan gusi, n hikmah untuk pewarna hati. Trims^_^

0 komentar:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com