Sudah berapa kali kita bertemu dengan orang luar (bule), mungkin sekarang bukan hal yang aneh jika bertemu dengan pendatang dari Negara lain itu. Tapi apakah kita sudah pernah bertemu ayam kampung (bukan ayam kampus) yang masih berkeliaran disekitar halaman kita, lucu, menggemaskan dan sangat patuh dengan anda? Begitulah zaman sekarang ini betapa sering kita menjumpai produk lain lebih banyak beredar dipasaran (entah berupa orang ataupun barang-barang), sebagai contoh riil, sering mana kita menggunakan kata maaf, sorry, atau ngapunten (artinya sama juga dengan maaf). Selanjutnya tipe handpone kita, bila punya seri N80 keatas atau SE apalagi Blackberry, begitu bangganya dengan milik Negara tetangga. Adakah yang bangga dengan sanex (salah satu merk HP produk negeri kita), atau film dalam negeri kita sendiri.
Jikalau masalah ini diperbesar tidak akan menyelesaikan masalah tapi menambahnya. Lebih baik bertindak, jika teman kita keinggris-inggris, kemesir-mesiran, kerusia-rusiaan, janganlah terlalu dipermasalahkan karena itu hak tiap-tiap individu. Dari pada berkomentar dengan hal itu alangkah baiknya jika kita tunjukan bahwa cinta kedapa bangsa sendiri itu lebih membuat kita bahagia dan mendapat kepuasan yang “ahhh, subhanallah” sungguh sulit diungkapkan dengan gabungan konsonan-konsonan yang diselipi vokal-vokal. Serta tugas tambahan mengajak mereka cinta dan bangga akan ibu pertiwi ini.
Lalu bagaimana dengan agama? Dalam surah al-khafirun allah berfirman lakum diinukum waliyadiin, yang artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Sudah pasti jelas bahwa jangan mencampur adukan agama dan ibadahnya, selain itu ada sesuatu yang sidikit terlupakan dari kita. Jika seorang nasionalis berkata “bagimu bangsamu dan bagiku bangsaku”. Apalagi kalau anak kemaren sore bilang “gue gue, loe loe”, itulah sedikit rasa kecintaan terhadap diri sendiri dengan perwujudan pembatasan dengan tembok pemisah. Seperti itu pula kita harus mencintai agama kita, alasannya kenapa? Karena ini adalah agama kita dan kitalah yang wajib mencintai, membela serta menyebarkannya. Begitu pula dengan diri kita, bangsa dan Negara kita. Siapa yang cinta, bangga dan menjaga agama, budaya, bangsa dan tanah air kita kalau bukan kita sendiri.
Seketika pikiran saya mulai diisi tentang nasionalisme, entah kenapa secara reflek langsung melakukan flashbask ke Ranca upas.
Ya, Ranca upas, sebuah nama daerah di Bandung yang berada di daerah penangkaran binatang (yang cocok untuk tempat berkemah). 6-10 Agustus ’09, dimana saya melakukan hunting ke bandung dengan teman PALA (Pecinta Alam). Perjalanan untuk menggikuti Jambore Jejak Petualang itu (acara yang diadakan oleh crue acara Jejak Petualang di Trans7). Perjalanan melelahkan selama 14 jam dari Madiun menuju Bandung yang kami tempuh dengan menumpang kereta Pasundan tertebus dengan pemandangan yang subhanallah, walaupun Magetan tetap nomor setunggal. Satu poin penting yang dapat saya ambil dari perjalanan keBandung waktu itu. Bukan tentang harga buah kelengkeng perbungkus yang hanya Rp 3000,-, juga tidak membahas macam-macam cara mengais rejeki (sangat kreatif, walau sedikit membikin kesal penumpang). Mulai dari pedagang asongan yang menjajakan berbagai jenis makanan, aksesoris, buku-buku, oleh-oleh, sampai tambal panci. Pengamen dengan segala jenis musiknya, dari pop, dangdut, rege, suara serak-serak, sampai minta sumbangan. Dan 2 jenis kegiatan baru (yang tidak saya jumpai pada bus dan perjalanan jarak dekat), yaitu membersihkan gerbong kereta dari sampah-sampah yang dibuang penumpang tanpa merasa salah (termasuk saya) juga karena tidak ada tempat sampah dalam gerbong. Setelah itu mereka meminta imbalan seikhlasnya dari para pelanggan Pasundan (saya pikir itu adalah petugas yang membersihkan gerbong sebagai salah satu sevice mereka). Sudah bersih maka tinggal disemprot minyak wangi, peluang itu langsung diambil yang orang yang ingin mengais rejeki dari kereta kelas rakyat bawah ini (karena harga karcisnya hanya Rp35.000,- untuk jurusan Madiun-Bandung). Smeprot dua kali dapat Rp0,- sampai Rp3.000,- untuk satu kursi jadi lumayan lah, 1 hari untuk makan dan teman setianya (rokok barang sebatang setelah makan).
“ tahunya a’, tahu sumedang. Sarapannya a’, nasi rames, pecel, gorengan.” Panggilan khas dari jabar “a’, geulis” sangat bersahaja dan sopan. Mereka (sebagian penduduk dan pedagang asongan Bandung) bangga dengan bandung. Seperti saat menawarkan makanan khas Bandung dan menjelaskan daerah-daerah di sana, kegiatan-kegiatannya, budaya, bangunanya, apalagi tentang outlet yang menjamur dikota kembang itu dan masih banyak lainnya. Disini sisi yang membuat saya teringat Bandung, kecintaan masyarakatnya terhadap budaya sendiri (walau hanya sebagian kecil dari penduduknya). Siapa yang tidak kenal kecantikan gadis Bandung, tapi jangan salah, kota bandung dan alamnya tidak kalah indah dari geulisnya. Apalagi kawasan Ciwiduy yang notabene daerah penggunungan, Bandung satu diantara beberapa kota indah di Indonesia (walaupun semua kota di Indonesia indah menurut saya). Jangan kita angap hidup di Amerika itu enak dan lebih mudah daripada di Indonesia, marilah kita ubah perspektif itu. Indonesia adalah rumah paling indah untuk kita, oleh karena itu mari kita majukan Negara ini.
Di Bandung saya dapat beberapa teknik survival yang bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari dan masa yang akan datang, jangan malu jika suatu hal itu halal, malulah jika kita harus mengorbankan akhlak atau akidah hanya untuk makan. Jika kita punya ilmu tentang trap, maka harus kita gunakan, bukan untuk menangkap rusa atau celeng (jika berada di kota). Hal itu bisa kita aplikasikan dalam menangkap peluang kerja, modal utama trap adalah apa yang kita miliki dan bagaimana kita memaksimalkannya. Jika kita punya tali dan batu, kita buat jebakan dengan batu yang diikat dan digantung dengan tali itu.jika tali tersentuh oleh kaki binatang maka batu akan menghantam dari depan. Penerapannya dalam kehidupan bisa beragam terserah kita yang melogikan batu dan tali menjadi apa, misal tenaga dan ketekunan. Maka kita bisa mencoba kerja di pendistribusian barang, atau hal-hal yang lain. Disana terasa betapa keramahan orang-orang desa seperti saya dan segerombolan anak Madiun-Magetan jarang dijumpai di golongan anak-anak gedong. Tapi inilah yang membuat menarik, karena suasana yang sungguh berbeda ini membuat saya merasa terpacu. Belum lagi masalah transport kembali keterminal yang disanggupi oleh panitia ternyata molor, janjinya jam 3-4 sore, ba’da isa baru datang. Ada yang ketinggalan pesawat (mereka yang dari Sulawesi dan Kalimantan), bahkan ada yang datang dari Medan, Malaysia, Pakistan (walaupun dia juga orang asli Palembang).
“Ketinggalan” kata itu juga berlaku untuk kami, meski kami tidak tertinggal kereta tapi kami tertinggal kuota yang sudah habis. Menginap di stasiun itulah jalan keluarnya, kamipun menikmati malam terakhir di kota Bandung dengan bermalam dirumah kereta. Berkesan dan memberi banyak hikmah, hidup tak selamanya mudah tapi selalu indah karena hidup kita adalah anugrah.
Jikalau masalah ini diperbesar tidak akan menyelesaikan masalah tapi menambahnya. Lebih baik bertindak, jika teman kita keinggris-inggris, kemesir-mesiran, kerusia-rusiaan, janganlah terlalu dipermasalahkan karena itu hak tiap-tiap individu. Dari pada berkomentar dengan hal itu alangkah baiknya jika kita tunjukan bahwa cinta kedapa bangsa sendiri itu lebih membuat kita bahagia dan mendapat kepuasan yang “ahhh, subhanallah” sungguh sulit diungkapkan dengan gabungan konsonan-konsonan yang diselipi vokal-vokal. Serta tugas tambahan mengajak mereka cinta dan bangga akan ibu pertiwi ini.
Lalu bagaimana dengan agama? Dalam surah al-khafirun allah berfirman lakum diinukum waliyadiin, yang artinya “bagimu agamamu dan bagiku agamaku.” Sudah pasti jelas bahwa jangan mencampur adukan agama dan ibadahnya, selain itu ada sesuatu yang sidikit terlupakan dari kita. Jika seorang nasionalis berkata “bagimu bangsamu dan bagiku bangsaku”. Apalagi kalau anak kemaren sore bilang “gue gue, loe loe”, itulah sedikit rasa kecintaan terhadap diri sendiri dengan perwujudan pembatasan dengan tembok pemisah. Seperti itu pula kita harus mencintai agama kita, alasannya kenapa? Karena ini adalah agama kita dan kitalah yang wajib mencintai, membela serta menyebarkannya. Begitu pula dengan diri kita, bangsa dan Negara kita. Siapa yang cinta, bangga dan menjaga agama, budaya, bangsa dan tanah air kita kalau bukan kita sendiri.
Seketika pikiran saya mulai diisi tentang nasionalisme, entah kenapa secara reflek langsung melakukan flashbask ke Ranca upas.
Ya, Ranca upas, sebuah nama daerah di Bandung yang berada di daerah penangkaran binatang (yang cocok untuk tempat berkemah). 6-10 Agustus ’09, dimana saya melakukan hunting ke bandung dengan teman PALA (Pecinta Alam). Perjalanan untuk menggikuti Jambore Jejak Petualang itu (acara yang diadakan oleh crue acara Jejak Petualang di Trans7). Perjalanan melelahkan selama 14 jam dari Madiun menuju Bandung yang kami tempuh dengan menumpang kereta Pasundan tertebus dengan pemandangan yang subhanallah, walaupun Magetan tetap nomor setunggal. Satu poin penting yang dapat saya ambil dari perjalanan keBandung waktu itu. Bukan tentang harga buah kelengkeng perbungkus yang hanya Rp 3000,-, juga tidak membahas macam-macam cara mengais rejeki (sangat kreatif, walau sedikit membikin kesal penumpang). Mulai dari pedagang asongan yang menjajakan berbagai jenis makanan, aksesoris, buku-buku, oleh-oleh, sampai tambal panci. Pengamen dengan segala jenis musiknya, dari pop, dangdut, rege, suara serak-serak, sampai minta sumbangan. Dan 2 jenis kegiatan baru (yang tidak saya jumpai pada bus dan perjalanan jarak dekat), yaitu membersihkan gerbong kereta dari sampah-sampah yang dibuang penumpang tanpa merasa salah (termasuk saya) juga karena tidak ada tempat sampah dalam gerbong. Setelah itu mereka meminta imbalan seikhlasnya dari para pelanggan Pasundan (saya pikir itu adalah petugas yang membersihkan gerbong sebagai salah satu sevice mereka). Sudah bersih maka tinggal disemprot minyak wangi, peluang itu langsung diambil yang orang yang ingin mengais rejeki dari kereta kelas rakyat bawah ini (karena harga karcisnya hanya Rp35.000,- untuk jurusan Madiun-Bandung). Smeprot dua kali dapat Rp0,- sampai Rp3.000,- untuk satu kursi jadi lumayan lah, 1 hari untuk makan dan teman setianya (rokok barang sebatang setelah makan).
“ tahunya a’, tahu sumedang. Sarapannya a’, nasi rames, pecel, gorengan.” Panggilan khas dari jabar “a’, geulis” sangat bersahaja dan sopan. Mereka (sebagian penduduk dan pedagang asongan Bandung) bangga dengan bandung. Seperti saat menawarkan makanan khas Bandung dan menjelaskan daerah-daerah di sana, kegiatan-kegiatannya, budaya, bangunanya, apalagi tentang outlet yang menjamur dikota kembang itu dan masih banyak lainnya. Disini sisi yang membuat saya teringat Bandung, kecintaan masyarakatnya terhadap budaya sendiri (walau hanya sebagian kecil dari penduduknya). Siapa yang tidak kenal kecantikan gadis Bandung, tapi jangan salah, kota bandung dan alamnya tidak kalah indah dari geulisnya. Apalagi kawasan Ciwiduy yang notabene daerah penggunungan, Bandung satu diantara beberapa kota indah di Indonesia (walaupun semua kota di Indonesia indah menurut saya). Jangan kita angap hidup di Amerika itu enak dan lebih mudah daripada di Indonesia, marilah kita ubah perspektif itu. Indonesia adalah rumah paling indah untuk kita, oleh karena itu mari kita majukan Negara ini.
Di Bandung saya dapat beberapa teknik survival yang bisa diterapkan pada kehidupan sehari-hari dan masa yang akan datang, jangan malu jika suatu hal itu halal, malulah jika kita harus mengorbankan akhlak atau akidah hanya untuk makan. Jika kita punya ilmu tentang trap, maka harus kita gunakan, bukan untuk menangkap rusa atau celeng (jika berada di kota). Hal itu bisa kita aplikasikan dalam menangkap peluang kerja, modal utama trap adalah apa yang kita miliki dan bagaimana kita memaksimalkannya. Jika kita punya tali dan batu, kita buat jebakan dengan batu yang diikat dan digantung dengan tali itu.jika tali tersentuh oleh kaki binatang maka batu akan menghantam dari depan. Penerapannya dalam kehidupan bisa beragam terserah kita yang melogikan batu dan tali menjadi apa, misal tenaga dan ketekunan. Maka kita bisa mencoba kerja di pendistribusian barang, atau hal-hal yang lain. Disana terasa betapa keramahan orang-orang desa seperti saya dan segerombolan anak Madiun-Magetan jarang dijumpai di golongan anak-anak gedong. Tapi inilah yang membuat menarik, karena suasana yang sungguh berbeda ini membuat saya merasa terpacu. Belum lagi masalah transport kembali keterminal yang disanggupi oleh panitia ternyata molor, janjinya jam 3-4 sore, ba’da isa baru datang. Ada yang ketinggalan pesawat (mereka yang dari Sulawesi dan Kalimantan), bahkan ada yang datang dari Medan, Malaysia, Pakistan (walaupun dia juga orang asli Palembang).
“Ketinggalan” kata itu juga berlaku untuk kami, meski kami tidak tertinggal kereta tapi kami tertinggal kuota yang sudah habis. Menginap di stasiun itulah jalan keluarnya, kamipun menikmati malam terakhir di kota Bandung dengan bermalam dirumah kereta. Berkesan dan memberi banyak hikmah, hidup tak selamanya mudah tapi selalu indah karena hidup kita adalah anugrah.
0 komentar:
Post a Comment