31 Jul 2012

Lumajang, apa bagusnya?

menyambut diri di Lumajang, menatap G.Semeru.
       Kawan, belanjut dari cerita hunting di Jember (baca, Jember dan Filosofi Kelapa). Kawan, kali ini kita akan menengok sedikit ke Lumajang, “apa bagusnya?” itu mungkin pertanyaan yang selalu dipertanyakan (tanya saya di hati, juga sago tentunya). Tapi, dalam hati pula saya jawab “selalu ada yang indah di tempat berbeda, masalahnya bisa menemukan atau tidak?”. Nah, itu, tantangan subhanallah untuk saya dah, Sago akhirnya ikut, karena dia memang hanya ikut saja, ikut sopir. Setelah menginap di Jember, tepatnya di SPBU di pinggiran kota Jember kami melanjutkan ke daerah Lumajang. Kami punya kakak semester di PESMA (Pesantren Mahasiswa) Darul Hijrah yang Rumahnya di Lumajang, tepatnya daerah Pasirian. Nah, kamipun punya niat mampir kesana, karena jika ke kota akan lewat daerah utara, akan memakan waktu lebih banyak nantinya, yang pasti saya makin capek. 
       Kami pilih untuk tetap lewat selatan, lewat daerah Pasirian, lihat-lihat dulu wisata disana. Lalu melanjutkan ke Goa Tetes, sebuah tempat yang spesial di Lumajang menurut beberapa sumber. Setelah berangkat dari SPBU, kami mengikuti jalanan di Jember, Masuk Lumajang, hampir sampai ke Pasirian kami mampir untuk sarapan dulu. Yups, sekalian minta bantuan nitip charger baterai HP dan baterai Handycam.
Diperjalan yang cukup melelahkan kami sering berinteraksi dengan orang Madura (reng medureh, bahasa kerennya guys), semakin paham bahasa Madura dan kulture mereka. Lanjut cerita di tempat makan dulu, ada beberapa makanan khas daerah Lumajang (disetiap kelayapan, saya tak pernah lewatkan kuliner nusantara), salah satunya adalah sejenis tempe tapi dari biji kacang pancang, cukup enek rasanya, tapi yang pasti saya tahu kadar gizinya (lahap saja, diawali dg bismillah bro, jangan lupa *kedipin mata).
Pemandangan indah dari sekitar Piket Nol, Lumajang Jatim.
            Setelah ngobrol panjang lebar (ngalor ngidul) dengan sago, *ada beberapa poin menarik, setiap orang yang saya ajak touring adalah orang spesial. Why? Mereka selalu punya sesuatu yg berkesan untuk saya, Sago misal, dia adalah bolang yang tidak kalah nekat dari saya. Waktu SMA saja dia sudah sepedahan (inget, sepeda pancal) dari Lamongan ke Malang (lewat Pasuruan), kembali lewat Batu dan Jombang. Perjalanan berlanjut menuju Pasirian, sebuah daerah pantai selatan yang cukup terkenal, karena sewaktu berangkat kami juga tahu disana banyak sekali tambang pasir. Sebenarnya ada mas-mas (satu orang, cuma memberi isyarat dia lbh tua dari kami, sdh nikah) juga alumni PESMA DARUL HIJRAH (tempat saya tinggal). Tapi beliau belum bisa menemani kami, karena masih melanjutkan studi S2nya di STAIN Jember. Ada beberapa tempat di pasirian yang menjadi tempat tujuan kami, pantai bambang, lalu watu kecak (bahasa Madura, masih kurang paham kalau ini). Satu hal ketika anda di pulau sedang touring, lalu sedikit penunjuk arah, tanyalah ke kiri kanan, ini akan berbeda dengan diluar jawa (setahu saya di Sumatera, pernah 2minggu lebih disana, Madura dan Bali saya rasa masih identik dg jawa), baca hunting sumatera dan Madura (sampang, bangkalan).
            Setelah tikung kanan pengkol kiri, tanya bapak tanya ibu, kedipin cewek (eh, g’ada ding, ceweknya pada sekolah). Kami sampai pantai bambang pukul 9an nampaknya, tepat pada sabtu (18/2/12), sebenarnya saya katakan ini bukan tempat wisata utama. Why? Tempat parkir yang disediakan hanya satu (itupun kecil untuk ukuran wisata), pintu masuk yang seharusnya dijaga untuk pembelian tiket, sepi kosong hanya ada bangunan lusung. Dibalik itu semua, sebenarnya jika dikelola sedikit saja, akan jadi wisata yang subhanallah. Berbeda dengan pantai selatan pada umumnya, pantai bambang merupakan pantai pasir hitam (kaya akan magnet sebenarnya), kemudian banyak tanaman (tidak terlalu jelas, krn dikejauhan dan kacamata saya masih retak). Selain pasir penuh, juga ada beberapa batuan, baik batu merah, apung atau jenis lainnya, yang kebanyakan diambil oleh orang-orang disekitar pantai bambang. Saya mah juga ngambil itu batu kawan, :D (kolektor batu, ntar buat mas kawin) “saya nikahi **** dg mas kawin sekarung batu hasil mbolang Indonesia,” *romantis jeh… ;) (kedipin dulu calon bini’, tahu siapa).
Warga mencari batu merah dan lainnya untuk dijual.
            Wahai calon ibu dari anak-anakku (baca Untukmu calon ibu dari anak-anakku), sudahkah dikau berkunjung kepantai bambang, kemarin pantai itu terkena ombak laut ‘kidul’ setinggi lima meter (agak dialog ma calon bini’ jeh, map ya kaum adam) :D. Next, rasa hati tak tega, terenyuh dan langsung berdo’a untuk keselamatan orang-orang disana. Inilah efek silaturohim, walau saya disana juga di jenggongin anjing, tp istimewa, pasirian utamanya, Lumajang umunya, sudah ada dihati, terpatri. Lalu kami berniat kembali, tapi sebelum kembali saya lihat ada penambangan pasir dan batu, nampaknya indah kawan, ya sudah cabut saja, kelamaan. Ternyata memang subhanallah, ada sungai besar yang sedikit dialiri air, tapi sangat banyak pasir serta batu-batuan, hasil erupsi G.Semeru nampaknya. Banyak gubuk-gubuk disungai yang menambang batu atau pasir (nampaknya manual), tapi juga menghasilakan. Jalanan masih berdebu, begitu pula penyebrangan sungai memanfaatkan tanggul sungai kedua yang lebih rendah dari tanggul pertama. Disampingnya ada perbukitan yang tertata elok, cantik nian (noh, kebayang cantiknya calon ibu dari anak-anakku lg kan) ;). Jepret-jepret dulu dg kameranya handycam baru kawan, usaha sambil untuk berwisata, begitulah kiranya.
            Setelah itu, kami melanjutkan jalan ke watu kecak, masih belum yakin bagus, tapi kami usahakan untuk berkunjung. Nah, setelah melewati hutan tebu (biar agak dramatisir ya), kami sampailah ke watu kecak. Eh, mbois jeh, ada hutan (kali ini beneran), pohon yang sejenis, tak paham nama pohonnya, yang pasti kalau dibuat tempat ambil gambar atau video bakal indah sekali. Dan disebelahnya ada beton besar yang ada bekas tapak kaki, itulah watu kecak (aih, g’banget sob, tp macam mana, harus tetap kita ambil hikmahnya aja, subhanallah). Baliknya, kami masih sempak bertemu burung gagak, burung-burung lain yang tinggal di hutan tebu. Dikampung saya Magetan jarang ini, tapi disini masih banyak, memang itulah spesialnya hutan (sebagai anggota PALA [pecinta alam] seumur hidup, saya akan menggalakkan hutan masuk kota) :D. Perjalananpun kami lanjut ke Malang, dengan mampir dahulu ke piket nol dan Gua Tetes, ini nanti perjalanan ter mboisnya jeh.
            Melewati jalur yang sama, kami bisa melihat samudera hindia dari perbukitan berliku yang sesekali ada view untuk lepas memandang ke tenggara. Sambil berhenti, foto-foto, memperhatikan beberapa hal, lalu member evaluasi dan maknawiyah dalam hati. Kalau hikmahnya ditulis semua takut bosen baca pada semua dengan blog saya. :D | jadi saya ambil beberapa poin riil yang bisa diterimat otak n mata, karena belum tentu semua mata hati mampu menerima apa yang saya sampaikan. ^_^ | Setelah bertanya ke beberapa orang, kami sampai piket nol, karena maksudnya piket nol adalah puncak tertinggi, hanya puncak kecil dipinggir jalan, seharusnya ada view yang luas, nah ini tugasnya PEMDA serta segenap jajarannya. Lanjut sedikit ke tempat wisata seberang piket nol, ada taman, seharusnya loket masuknya dijaga, tetapi sepi juga, naik sedikit ada kantor Telkom. Sekitarnya juga masih banyak pohon-pohon, disela-sela pohon banyak orang pacaran kawan, astagfirullah, tapi mbois kok. :D
goa tetes, nampak bawah, karena sulit cari view yg baik.
            Ending cerita “Lumajang, apa bagusnya” adalah di gua tetes kawan, subhanallah banget kalau tempat satu ini. Sudah dekat dengan daerah Dampit Malang, tapi masih masuk area Lumajang, nasibnya sama seperti tempat wisata lain, tidak terawat, fasilitas buruk. Tanda plang untuk wisata se “MBOIS” ini hanya papan dari kayu, di cat apa adanya, tidak jelas, tiangnya condong, bertulis “goa tetes” (saya rasa ini inisiatif warga). Lalu kita disambut dengan jalan macadam (batu-batu dan berliku, turunan, tak layak untuk mobil, apalagi rider pemula). Tak begitu jauh, sampailah kita di tempat parkir, just for “sepeda motor” nampaknya, karena tempatnya lebih mirip kandang kambing (kalau ditempat saya). Cukup berbeda jauh, misal dengan Sarangan di Magetan, Goa Gong di Pacitan dan tempat-tempat lain. Disekitar tempat ini banyak tumbuhan salak, tapi sayang, tidak ada yang menjual salak disana (geleng-geleng melihat peluang dan sumber alam yang besar serta tidak dikelola).
            Setelah parkir, kami naik kawan, menuju goa tetes, tapi malah kesasar kerumah-rumah warga. Kenapa? Tidak ada penunjuk jalan, bahkan pintu masuknya tidak tertuliskan ‘GOA GONG’, penjaga loketpun, maaf, tuna netra, dan loket itu lebih mirip tempat istirahat. Akhirnya kami kembali turun dan sedikit berbincang dengan bapak pejaga loket tersebut. Biarpun buta, tapi bapak ini telah melatih ketekunan beliau sehingga mampu memberikan hal-hal terbaik beliau, sampai kesalahan uang kembalipun tak terjadi. Jalan menuju goa tetes cukup jauh, menurun (tetapi baliknya nanti naik), sudah tertata rapi, hanya pengamannya sudah banyak yang rusak, licin karena banyak air serta lumutnya. Saya beberapa kali terpeleset, karena terlalu licin dan memakai sepatu futsal yang sudah mulai halus bagian bawahnya, maka berhati-hatilah saya.
            Sesampai di goa gong, baru nampak sebagian, subahanallah, istimewa kawan, tujuan terakhir yang memuaskan hati, pikiran dan lain-lain. Saya masih asyik mengambil gambar, tapi nampaknya sago sudah rindu dengan air sejuk, dia sudah lepas baju (hanya pakai celana dalam) dan bermandi-mandi ria. Karena memang sedang sepi, adapun beberapa orang itu adalah lelaki. Goa tetes ini adalah tebing yang berlubang, sehingga disebut goa, tidak terlalu dalam, walau ada bagian yang dalam, karena terlalu licin tidak ada yang kesana. Tanahnya tanah padas, kuning, mirip kotoran manusia kalau saya bilang, :D dan sejuk (se sejuk hati-hati kami, ea). Goa ini cukup tinggi, sehingga butuh mental untuk mendakinya, perlu nyali besar, kaki saya (dibagian jari) ada yang luka, sehingga kesulitan untuk naik, tapi saya paksakan, Alhamdulillah bisa. Sago sudah kelayapan kesana kemari, macam kera kegirangan, sebenarnya dia lebih cakep daripada kera kawan, suer aye jujur. :D | saya masih berkostum celana levis, tapi tak berbaju, Sago saya suruh foto-foto, karena urusan mental loncat sana loncat sini, saya akui sago lebih berbakat. Saya masih kesusahan menyesuaikan diri dengan kondisi kaki dan medan, alhasil saya juga sampai puncak, Alhamdulillah. Foto-foto riapun berlanjut, melihat sungai dibawah, minum air, melihat habitat, masuk sedikit ke goa, mengucapkan mimpi-mimpi mustahil juga jadi agenda kami.
            Di akhir perjalanan, kami kecapaian, lalu turun, sayapun ingin mandi, akhirnya… *tiittttttt. Ah jujur saja, lepas celana, pakai celana dalam saja, mandi besar, tanpa perlu junub sebelumnya. :D | selesai itu kami pakai kostum kembali, dan naik keatas, kali ini saya duluan, karena jiwa pendaki sedikit-sedikit masih ada, skillnya juga masih berbekas walau tak banyak. Saya katakana, “Lumajang memang tidak terlalu bagus, tapi berkesan dihati saya, itulah bagusnya, subahanallah” ^_^ | pada episode selanjutnya aka nada kunjungan kedua (sebelum puasa 1334 H, ke tempat nikahan dan saudara saya yusuf arifudin). Di tunggu ya, selalu ada yg indah dinegeri ini, masalahnya, selalukah kita mampu bersyukur dan mengambil hikmah dari semua hal itu? Salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi… ^_^

0 komentar:

Post a Comment

sealkazzsoftware.blogspot.com resepkuekeringku.com