Masjid agung Nganjuk. |
Menjelajahi bumi inci demi inci itu indah kawan, semakin kita menganal detil dari setiap daerah, membuat kita semakin mamahami seluk beluk pemetaan mentalitas penduduknya. Inilah yang membuat saya semakin mencintai namanya “hunting”, kata-kata ini sebenarnya memiliki arti berburu, tetapi saya memaknainya dengan berbeda. Berburu, ya tetap berburu ilmu, berburu pengalaman, berburu hal baru, berburu ilmu religi, berburu saudara, berburu foto dan video, dan berburu hal-hal yg tidak pernah diburu orang lain. Itulah yang saya sebut dengan hunting kawan.
Kali ini saya ingin berbagi sedikit hal dari “hunting at nganjuk”. Masih serangkaian dengan perjalanan dari rumah eyang di pare (Kediri), lalu lewat ke papar (lewat stasiun papar), barulah saya kembali lewat jalur utama bersama truk truk dan bus bus. Dengan menggunakan motor ade’ (dibeliin ortu untuk ade’), saya melewati nganjuk dengan guyuran hujan. Tak terlalu deras memang, tapi membasahi jaket parasit saya juga (atau mungkin jaketnya bukan parasit?) :D. Saya belum sholat dhuhur sewaktu masuk area Nganjuk, lalu sampailah di pom bensin (SPBU bahasa baku indonesianya). Saya sendiri lupa nama daerahnya, karena di SPBU hanya ada nomornya, bukan nama daerah, lalu sholat dhuhurlah saya sambil membaca dzikir yang agak panjang (waktunya menginsafkan diri).
Setelah selesai dan menghubungi saudara saya (temen satu jurusan rumahnya Nganjuk), ternyata dia dirumah dan bisa mampir. Rumahnya deket dengan alun-alun, jadi dekat dah, beres, langsung ke alun-alun saja. Ini kawan, kata “saudara” itu adalah bukti kita menghargai seseorang seperti menghargai diri kita sendiri. Sampai di alun-alun kota nganjuk saya mampir dahulu ke masjidnya, melihat arsitekturnya dan sambil merenungi hal-hal sekitar masjid ini. Belum lama otak bermain imajinasi saudara ardhy sudah datang “pun dangu kang?”, sapa ardhy yg biasanya kami memakai bahasa jawa alus (krama inggil) dalam percakapan. Setelah ngobrol ringan tentang PKL (Praktek Kerja Langsung), SP (semester pendek) Bahasa Arab, teman-teman kelas dan kesannya, kami menuju rumah ortunya.
Tak jauh dari alun-alun, Cuma beberapa kali tikungan sudah sampai (jangan dijelaskan, nanti malah sama-sama g’paham). Sampai dirumah ortu beliau disambut hangat oleh ibu dan bapaknya saudara ardhy. Alhamdulillah, sekarang mendapat banyak pelajaran dari keluarga ini, tentang rasa syukur, tentang kerendahan hati, dan toleransi. Inilah poin yang selalu saya cari, yaitu bisa belajar dari keluarga lain, lalu mengaplikasikannya ke keluarga sekarang dan untuk bekal membina rumah tangga kelaknya. ;)
Disini pula saya tahu sejarah kota nganjuk, yang sebenarnya bisa dicari di eyang GOOGLE. Tapi beda rasa jika diceritakan oleh orang asli nganjuk, mereka begitu berapi-api ketika menceritakan dahulunya tanah untuk warga nganjuk ini adalah sebagai tanah pertanian tanpa pajak. Sebagai balas budi karena telah membantu membuatkan candi raden Toemenggoeng Sostrodiredjo. Saya sendiri belum ngeh (bahasa keren dari “paham”) tentang ceritanya, tapi setelah searching mulai paham. Garis besarnya seperti itu, tapi detilnya masih sedikit berbeda.
Yang dibahas sangatlah banyak diwaktu singkat, juga mengenalkan tentang CML (cah magetan library), harapan dan langkah setelah lulus S1, sampai masalah memanfaatkan lahan kosong. Hujanpun sangat deras, tetapi saya ingat, tadi sudah janji sama ibu’ “insyaAllah wangsul dinten niki bu!” (insyaAllah pulang hari ini bu!) <~ translate bahasa indonesianya. Dengan begitu sayapun harus bergegas untuk pulang, walau hujan belum berhenti total, kan ada matel. Setelah sholat, ngobrol sedikit juga dengan ibu dan bapaknya ardhy (ibu’beliau baru saja kena musibah, terpeleset di kamar mandi dan tulang tangannya patah) semoga segera sembuh bu. Amin…. Alfatihah
Kali ini saya ingin berbagi sedikit hal dari “hunting at nganjuk”. Masih serangkaian dengan perjalanan dari rumah eyang di pare (Kediri), lalu lewat ke papar (lewat stasiun papar), barulah saya kembali lewat jalur utama bersama truk truk dan bus bus. Dengan menggunakan motor ade’ (dibeliin ortu untuk ade’), saya melewati nganjuk dengan guyuran hujan. Tak terlalu deras memang, tapi membasahi jaket parasit saya juga (atau mungkin jaketnya bukan parasit?) :D. Saya belum sholat dhuhur sewaktu masuk area Nganjuk, lalu sampailah di pom bensin (SPBU bahasa baku indonesianya). Saya sendiri lupa nama daerahnya, karena di SPBU hanya ada nomornya, bukan nama daerah, lalu sholat dhuhurlah saya sambil membaca dzikir yang agak panjang (waktunya menginsafkan diri).
Setelah selesai dan menghubungi saudara saya (temen satu jurusan rumahnya Nganjuk), ternyata dia dirumah dan bisa mampir. Rumahnya deket dengan alun-alun, jadi dekat dah, beres, langsung ke alun-alun saja. Ini kawan, kata “saudara” itu adalah bukti kita menghargai seseorang seperti menghargai diri kita sendiri. Sampai di alun-alun kota nganjuk saya mampir dahulu ke masjidnya, melihat arsitekturnya dan sambil merenungi hal-hal sekitar masjid ini. Belum lama otak bermain imajinasi saudara ardhy sudah datang “pun dangu kang?”, sapa ardhy yg biasanya kami memakai bahasa jawa alus (krama inggil) dalam percakapan. Setelah ngobrol ringan tentang PKL (Praktek Kerja Langsung), SP (semester pendek) Bahasa Arab, teman-teman kelas dan kesannya, kami menuju rumah ortunya.
Tak jauh dari alun-alun, Cuma beberapa kali tikungan sudah sampai (jangan dijelaskan, nanti malah sama-sama g’paham). Sampai dirumah ortu beliau disambut hangat oleh ibu dan bapaknya saudara ardhy. Alhamdulillah, sekarang mendapat banyak pelajaran dari keluarga ini, tentang rasa syukur, tentang kerendahan hati, dan toleransi. Inilah poin yang selalu saya cari, yaitu bisa belajar dari keluarga lain, lalu mengaplikasikannya ke keluarga sekarang dan untuk bekal membina rumah tangga kelaknya. ;)
Disini pula saya tahu sejarah kota nganjuk, yang sebenarnya bisa dicari di eyang GOOGLE. Tapi beda rasa jika diceritakan oleh orang asli nganjuk, mereka begitu berapi-api ketika menceritakan dahulunya tanah untuk warga nganjuk ini adalah sebagai tanah pertanian tanpa pajak. Sebagai balas budi karena telah membantu membuatkan candi raden Toemenggoeng Sostrodiredjo. Saya sendiri belum ngeh (bahasa keren dari “paham”) tentang ceritanya, tapi setelah searching mulai paham. Garis besarnya seperti itu, tapi detilnya masih sedikit berbeda.
Yang dibahas sangatlah banyak diwaktu singkat, juga mengenalkan tentang CML (cah magetan library), harapan dan langkah setelah lulus S1, sampai masalah memanfaatkan lahan kosong. Hujanpun sangat deras, tetapi saya ingat, tadi sudah janji sama ibu’ “insyaAllah wangsul dinten niki bu!” (insyaAllah pulang hari ini bu!) <~ translate bahasa indonesianya. Dengan begitu sayapun harus bergegas untuk pulang, walau hujan belum berhenti total, kan ada matel. Setelah sholat, ngobrol sedikit juga dengan ibu dan bapaknya ardhy (ibu’beliau baru saja kena musibah, terpeleset di kamar mandi dan tulang tangannya patah) semoga segera sembuh bu. Amin…. Alfatihah
Ada lagi, saya yang habisin tu suguhan kacangnya (maklum kalau buah dan sejenis biji2an saya terobsesi), walau semua makanan juga masuk perut (asal halal). :D | sebenarnya disuruh untuk menginap, tp janji kepada ortu itu utama dan pertama, akhirnya saya pamit pulang. Tak lupa mampir foto2 dahulu dimasjid dan alun-alunnya (handycam baru di charger tadi), dan see u again Nganjuk, saya ingin menjelajah kepelosok nganjuk, tak hanya kota. Terimakasih untuk kawan-kawan ngajuk, ardhy sekeluarga, barokallah. Ngajuk bisa jadi besar dan dikenak kelak, seperti itu pula Magetan (kabupaten saya). Cukup sekian kawan, semoga bermanfaat, salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi… ^_^
0 komentar:
Post a Comment