menyambut diri di Lumajang, menatap G.Semeru. |
Kami pilih untuk tetap lewat selatan, lewat daerah Pasirian, lihat-lihat dulu wisata disana. Lalu melanjutkan ke Goa Tetes, sebuah tempat yang spesial di Lumajang menurut beberapa sumber. Setelah berangkat dari SPBU, kami mengikuti jalanan di Jember, Masuk Lumajang, hampir sampai ke Pasirian kami mampir untuk sarapan dulu. Yups, sekalian minta bantuan nitip charger baterai HP dan baterai Handycam.
Diperjalan
yang cukup melelahkan kami sering berinteraksi dengan orang Madura (reng
medureh, bahasa kerennya guys), semakin paham bahasa Madura dan kulture mereka.
Lanjut cerita di tempat makan dulu, ada beberapa makanan khas daerah Lumajang
(disetiap kelayapan, saya tak pernah lewatkan kuliner nusantara), salah satunya
adalah sejenis tempe tapi dari biji kacang pancang, cukup enek rasanya, tapi
yang pasti saya tahu kadar gizinya (lahap saja, diawali dg bismillah bro, jangan
lupa *kedipin mata).
Pemandangan indah dari sekitar Piket Nol, Lumajang Jatim. |
Setelah ngobrol panjang lebar
(ngalor ngidul) dengan sago, *ada beberapa poin menarik, setiap orang yang saya
ajak touring adalah orang spesial. Why? Mereka selalu punya sesuatu yg berkesan
untuk saya, Sago misal, dia adalah bolang yang tidak kalah nekat dari saya. Waktu
SMA saja dia sudah sepedahan (inget, sepeda pancal) dari Lamongan ke Malang
(lewat Pasuruan), kembali lewat Batu dan Jombang. Perjalanan berlanjut menuju
Pasirian, sebuah daerah pantai selatan yang cukup terkenal, karena sewaktu
berangkat kami juga tahu disana banyak sekali tambang pasir. Sebenarnya ada
mas-mas (satu orang, cuma memberi isyarat dia lbh tua dari kami, sdh nikah)
juga alumni PESMA DARUL HIJRAH (tempat saya tinggal). Tapi beliau belum bisa
menemani kami, karena masih melanjutkan studi S2nya di STAIN Jember. Ada beberapa
tempat di pasirian yang menjadi tempat tujuan kami, pantai bambang, lalu watu
kecak (bahasa Madura, masih kurang paham kalau ini). Satu hal ketika anda di
pulau sedang touring, lalu sedikit penunjuk arah, tanyalah ke kiri kanan, ini
akan berbeda dengan diluar jawa (setahu saya di Sumatera, pernah 2minggu lebih
disana, Madura dan Bali saya rasa masih identik dg jawa), baca hunting sumatera
dan Madura (sampang, bangkalan).
Setelah tikung kanan pengkol kiri, tanya
bapak tanya ibu, kedipin cewek (eh, g’ada ding, ceweknya pada sekolah). Kami sampai
pantai bambang pukul 9an nampaknya, tepat pada sabtu (18/2/12), sebenarnya saya
katakan ini bukan tempat wisata utama. Why? Tempat parkir yang disediakan hanya
satu (itupun kecil untuk ukuran wisata), pintu masuk yang seharusnya dijaga untuk
pembelian tiket, sepi kosong hanya ada bangunan lusung. Dibalik itu semua,
sebenarnya jika dikelola sedikit saja, akan jadi wisata yang subhanallah. Berbeda
dengan pantai selatan pada umumnya, pantai bambang merupakan pantai pasir hitam
(kaya akan magnet sebenarnya), kemudian banyak tanaman (tidak terlalu jelas,
krn dikejauhan dan kacamata saya masih retak). Selain pasir penuh, juga ada
beberapa batuan, baik batu merah, apung atau jenis lainnya, yang kebanyakan
diambil oleh orang-orang disekitar pantai bambang. Saya mah juga ngambil itu
batu kawan, :D (kolektor batu, ntar buat mas kawin) “saya nikahi **** dg mas
kawin sekarung batu hasil mbolang Indonesia,” *romantis jeh… ;) (kedipin dulu
calon bini’, tahu siapa).
Warga mencari batu merah dan lainnya untuk dijual. |
Wahai calon ibu dari anak-anakku (baca Untukmu calon ibu dari anak-anakku),
sudahkah dikau berkunjung kepantai bambang, kemarin pantai itu terkena ombak
laut ‘kidul’ setinggi lima meter (agak dialog ma calon bini’ jeh, map ya kaum
adam) :D. Next, rasa hati tak tega, terenyuh dan langsung berdo’a untuk
keselamatan orang-orang disana. Inilah efek silaturohim, walau saya disana juga
di jenggongin anjing, tp istimewa, pasirian utamanya, Lumajang umunya, sudah
ada dihati, terpatri. Lalu kami berniat kembali, tapi sebelum kembali saya
lihat ada penambangan pasir dan batu, nampaknya indah kawan, ya sudah cabut
saja, kelamaan. Ternyata memang subhanallah, ada sungai besar yang sedikit dialiri
air, tapi sangat banyak pasir serta batu-batuan, hasil erupsi G.Semeru
nampaknya. Banyak gubuk-gubuk disungai yang menambang batu atau pasir
(nampaknya manual), tapi juga menghasilakan. Jalanan masih berdebu, begitu pula
penyebrangan sungai memanfaatkan tanggul sungai kedua yang lebih rendah dari
tanggul pertama. Disampingnya ada perbukitan yang tertata elok, cantik nian
(noh, kebayang cantiknya calon ibu dari anak-anakku lg kan) ;). Jepret-jepret
dulu dg kameranya handycam baru kawan, usaha sambil untuk berwisata, begitulah
kiranya.
Setelah itu, kami melanjutkan jalan
ke watu kecak, masih belum yakin bagus, tapi kami usahakan untuk berkunjung. Nah,
setelah melewati hutan tebu (biar agak dramatisir ya), kami sampailah ke watu
kecak. Eh, mbois jeh, ada hutan (kali ini beneran), pohon yang sejenis, tak
paham nama pohonnya, yang pasti kalau dibuat tempat ambil gambar atau video
bakal indah sekali. Dan disebelahnya ada beton besar yang ada bekas tapak kaki,
itulah watu kecak (aih, g’banget sob, tp macam mana, harus tetap kita ambil
hikmahnya aja, subhanallah). Baliknya, kami masih sempak bertemu burung gagak,
burung-burung lain yang tinggal di hutan tebu. Dikampung saya Magetan jarang
ini, tapi disini masih banyak, memang itulah spesialnya hutan (sebagai anggota
PALA [pecinta alam] seumur hidup, saya akan menggalakkan hutan masuk kota) :D.
Perjalananpun kami lanjut ke Malang, dengan mampir dahulu ke piket nol dan Gua
Tetes, ini nanti perjalanan ter mboisnya jeh.
Melewati jalur yang sama, kami bisa
melihat samudera hindia dari perbukitan berliku yang sesekali ada view untuk
lepas memandang ke tenggara. Sambil berhenti, foto-foto, memperhatikan beberapa
hal, lalu member evaluasi dan maknawiyah dalam hati. Kalau hikmahnya ditulis
semua takut bosen baca pada semua dengan blog saya. :D | jadi saya ambil
beberapa poin riil yang bisa diterimat otak n mata, karena belum tentu semua
mata hati mampu menerima apa yang saya sampaikan. ^_^ | Setelah bertanya ke
beberapa orang, kami sampai piket nol, karena maksudnya piket nol adalah puncak
tertinggi, hanya puncak kecil dipinggir jalan, seharusnya ada view yang luas,
nah ini tugasnya PEMDA serta segenap jajarannya. Lanjut sedikit ke tempat
wisata seberang piket nol, ada taman, seharusnya loket masuknya dijaga, tetapi
sepi juga, naik sedikit ada kantor Telkom. Sekitarnya juga masih banyak
pohon-pohon, disela-sela pohon banyak orang pacaran kawan, astagfirullah, tapi
mbois kok. :D
goa tetes, nampak bawah, karena sulit cari view yg baik. |
Ending cerita “Lumajang, apa
bagusnya” adalah di gua tetes kawan, subhanallah banget kalau tempat satu ini. Sudah
dekat dengan daerah Dampit Malang, tapi masih masuk area Lumajang, nasibnya
sama seperti tempat wisata lain, tidak terawat, fasilitas buruk. Tanda plang
untuk wisata se “MBOIS” ini hanya papan dari kayu, di cat apa adanya, tidak
jelas, tiangnya condong, bertulis “goa tetes” (saya rasa ini inisiatif warga). Lalu
kita disambut dengan jalan macadam (batu-batu dan berliku, turunan, tak layak
untuk mobil, apalagi rider pemula). Tak begitu jauh, sampailah kita di tempat parkir,
just for “sepeda motor” nampaknya, karena tempatnya lebih mirip kandang kambing
(kalau ditempat saya). Cukup berbeda jauh, misal dengan Sarangan di Magetan,
Goa Gong di Pacitan dan tempat-tempat lain. Disekitar tempat ini banyak
tumbuhan salak, tapi sayang, tidak ada yang menjual salak disana (geleng-geleng
melihat peluang dan sumber alam yang besar serta tidak dikelola).
Setelah parkir, kami naik kawan,
menuju goa tetes, tapi malah kesasar kerumah-rumah warga. Kenapa? Tidak ada
penunjuk jalan, bahkan pintu masuknya tidak tertuliskan ‘GOA GONG’, penjaga
loketpun, maaf, tuna netra, dan loket itu lebih mirip tempat istirahat. Akhirnya
kami kembali turun dan sedikit berbincang dengan bapak pejaga loket tersebut. Biarpun
buta, tapi bapak ini telah melatih ketekunan beliau sehingga mampu memberikan
hal-hal terbaik beliau, sampai kesalahan uang kembalipun tak terjadi. Jalan menuju
goa tetes cukup jauh, menurun (tetapi baliknya nanti naik), sudah tertata rapi,
hanya pengamannya sudah banyak yang rusak, licin karena banyak air serta
lumutnya. Saya beberapa kali terpeleset, karena terlalu licin dan memakai
sepatu futsal yang sudah mulai halus bagian bawahnya, maka berhati-hatilah
saya.
Sesampai di goa gong, baru nampak sebagian,
subahanallah, istimewa kawan, tujuan terakhir yang memuaskan hati, pikiran dan
lain-lain. Saya masih asyik mengambil gambar, tapi nampaknya sago sudah rindu
dengan air sejuk, dia sudah lepas baju (hanya pakai celana dalam) dan
bermandi-mandi ria. Karena memang sedang sepi, adapun beberapa orang itu adalah
lelaki. Goa tetes ini adalah tebing yang berlubang, sehingga disebut goa, tidak
terlalu dalam, walau ada bagian yang dalam, karena terlalu licin tidak ada yang
kesana. Tanahnya tanah padas, kuning, mirip kotoran manusia kalau saya bilang,
:D dan sejuk (se sejuk hati-hati kami, ea). Goa ini cukup tinggi, sehingga
butuh mental untuk mendakinya, perlu nyali besar, kaki saya (dibagian jari) ada
yang luka, sehingga kesulitan untuk naik, tapi saya paksakan, Alhamdulillah bisa.
Sago sudah kelayapan kesana kemari, macam kera kegirangan, sebenarnya dia lebih
cakep daripada kera kawan, suer aye jujur. :D | saya masih berkostum celana
levis, tapi tak berbaju, Sago saya suruh foto-foto, karena urusan mental loncat
sana loncat sini, saya akui sago lebih berbakat. Saya masih kesusahan
menyesuaikan diri dengan kondisi kaki dan medan, alhasil saya juga sampai
puncak, Alhamdulillah. Foto-foto riapun berlanjut, melihat sungai dibawah,
minum air, melihat habitat, masuk sedikit ke goa, mengucapkan mimpi-mimpi
mustahil juga jadi agenda kami.
Di akhir perjalanan, kami kecapaian,
lalu turun, sayapun ingin mandi, akhirnya… *tiittttttt. Ah jujur saja, lepas
celana, pakai celana dalam saja, mandi besar, tanpa perlu junub sebelumnya. :D
| selesai itu kami pakai kostum kembali, dan naik keatas, kali ini saya duluan,
karena jiwa pendaki sedikit-sedikit masih ada, skillnya juga masih berbekas
walau tak banyak. Saya katakana, “Lumajang memang tidak terlalu bagus, tapi
berkesan dihati saya, itulah bagusnya, subahanallah” ^_^ | pada episode
selanjutnya aka nada kunjungan kedua (sebelum puasa 1334 H, ke tempat nikahan
dan saudara saya yusuf arifudin). Di tunggu ya, selalu ada yg indah dinegeri
ini, masalahnya, selalukah kita mampu bersyukur dan mengambil hikmah dari semua
hal itu? Salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi… ^_^
0 komentar:
Post a Comment