Nasionalisme dari ujung negeri. |
Rakyat-adalah status saya sekarang, kedepan, dan selama-lamanya (itulah filosofi hidup saya), agar diri ini tetap dan selalu merakyat! Walau saya bermimpi menjadi presiden Indonesia kelak (kalau targetnya sih, th 2020), tapi saya harus tetap jadi rakyat agar merakyat, mulai sekarang, kedepan, dan akan datang. Ini dia kawan, yang sulit dipikirkan dan dilakukan oleh orang-orang sekarang ~> “rendah hati, bukan rendah diri!”. Saya juga sedang belajar, sungguh saya belajar menjadi orang paling tidak punya, menjadi orang paling sederhana, dan mencoba berbagai posisi, sebanyak mungkin, sejauh mungkin.
Dan kali ini, saya ingin berbagi tentang satu hal, NASIONALISME. Kadang seorang rakyat seperti saya, yang masih punya KTM (kartu tanda mahasiswa). Dibilang mandiri kadang masih dikirimi, dibilang minta terus ya sesekali menghidupi diri sendiri (hitungannya bulan), yang ngerintis usaha tapi masih dalam taraf nyari tanah dan nyiapin batu pertama (logika pembangunan). Memang cukup riskan, ketika saya bilang NASIONALISME, lalu mengajak mereka (tu orang yg ketemu dg saya) untuk mencintai negeri ini. Kebanyakan mlengos (berpaling tanpa menganggap, b.jawa), tak sedikit pula yang memberi pujian (kali ini makna berlawanan, mereka mencela atw mengejek), tapi saya anggap itu adalah pujian, karena saya ingat sebuah motto kakak PRAMUKA di SMA (kriwil julukannya) ~> “anggaplah pujian sebagai kritikan dan kritikan sebagai pujian”.
Hal saya ketahui tentang NASIONALISME hanya satu hal, yaitu rasa cinta. Banyak yang menjelaskan secara ilmiah, melalui literature-literature yg komplit, sampai dalil-dalil para manusia (bukan Rasul). Tapi nasionalisme sangatlah dekat dengan rasa cinta, yaitu cinta pada tanah air, negeri ini, INDONESIA. Dan hal itu menumbuhkan nasionalisme dalam jangka panjang, serta continue. Kawan, nasionalisme bagi rakyat jelata seperti saya ini adalah cukup sederhana, cukup melakukan terbaik yang mampu saya lakukan sekarang. Tak perlu terlalu berlebih dan kekurangan (karena yg berlebih dan kekurangan itu tak baik). Wal hasil, saya mulai dengan menanamkan, bahwa jika KTP saya, paspor saya, dan tanda pengenal lain masih WNI. Maaf, NKRI HARGA MATI!
Lalu, saya tanamkan pada diri ini untuk cinta pada produk dalam negeri. Dalam hal ini bersifat global, produk dalam negeri ini memiliki banyak subtansi (cabang2, dan sub2, bukan sayur itu). Mulai barang dagangan (makanan minuman, pakaian, kendaraan, alat2 elektronik, dkk), lanjut ke barang hiburan (musik, film, animasi, lan sak piturute [dan lain sebagainya, b.jawa]), mengkol ke olahraga, menikuk tajam ke jodoh juga (produk dalam negeri). Sebenarnya masih banyak lagi subtansi yang lain, tapi ambil sedikit lalu amalkan, ilmu itu harus aplikatif bukan hanya jadi persepektif. Saya masih berteriak kesana-kemari tentang nasionalisme, dan belajar sedikit demi sedikit, yg kelak akan jadi samudera.
Nah, kali ini saya ingin bercerita sedikit tentang kisah kasih hati saya dalam belajar Nasionalisme kawan. Saya mulai dengan no telp, beberapa kali saya meyakinkan diri dan kawan2, bahwa saya tak akan semuda itu untuk ganti nomor. Tetapi, setelah saya lihat, saya pilah dan pilih, hanya Telkom dan Telkomsel yg merupakan kepemilikan dalam negeri (walau tak 100%, minimal sahamnya maksimal di Indonesia) apalagi ini BUMN. Walhasil saya ganti nomor, mendapat protes, dukungan, dan lain sebagainya. Saya mulai sadar, seberapa nasionalisme itu memang sudah mulai berkurang di Negeri ini, bahkan mulai hilang tanpa bekas kawan. Terbaru, saya juga membeli sebuah kaos, sepatu, kaoskaki, sampai tas karier, juga mencari yang made in Indonesia. Yang paling menyita perhatian adalah baju merah putih, Indonesia, baju yang dipakai p. Andi Malaraeng (MENPORA). Baju itu beberapa kali saya buat kuliah, dan kawan2 sampai dosenpun juga komentar tentang kostum ini. Satu hal kawan, mereka mengakui seberapa dibutuhkan Nasionalisme, rasa cinta akan negeri ini!
Saya memang belum tahu zaman dahulu seperti apa, tapi ketika Indonesia meredeka, sebenarnya kita punya ideologi dan nasionalisme yang tinggi. Dapat dilihat dr pengakuan bangsa-bangsa lain dan beberapa pimpinan memiliki peran penting dalam dunia internasional. Terbaru saya mendengarkan MP3, tentang pidato-pidato yang membakar nasionalisme dari Bung Karno. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan para pemimpinan negeri ini, sungguh sangat ironis. Maka, marilah belajar nasionalisme, dari hal kecil yaitu cinta. Begitulah kami rakyat jelata yang belajar nasionalisme. Semoga bermanfaat, salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi…. ^_^
Hal saya ketahui tentang NASIONALISME hanya satu hal, yaitu rasa cinta. Banyak yang menjelaskan secara ilmiah, melalui literature-literature yg komplit, sampai dalil-dalil para manusia (bukan Rasul). Tapi nasionalisme sangatlah dekat dengan rasa cinta, yaitu cinta pada tanah air, negeri ini, INDONESIA. Dan hal itu menumbuhkan nasionalisme dalam jangka panjang, serta continue. Kawan, nasionalisme bagi rakyat jelata seperti saya ini adalah cukup sederhana, cukup melakukan terbaik yang mampu saya lakukan sekarang. Tak perlu terlalu berlebih dan kekurangan (karena yg berlebih dan kekurangan itu tak baik). Wal hasil, saya mulai dengan menanamkan, bahwa jika KTP saya, paspor saya, dan tanda pengenal lain masih WNI. Maaf, NKRI HARGA MATI!
Lalu, saya tanamkan pada diri ini untuk cinta pada produk dalam negeri. Dalam hal ini bersifat global, produk dalam negeri ini memiliki banyak subtansi (cabang2, dan sub2, bukan sayur itu). Mulai barang dagangan (makanan minuman, pakaian, kendaraan, alat2 elektronik, dkk), lanjut ke barang hiburan (musik, film, animasi, lan sak piturute [dan lain sebagainya, b.jawa]), mengkol ke olahraga, menikuk tajam ke jodoh juga (produk dalam negeri). Sebenarnya masih banyak lagi subtansi yang lain, tapi ambil sedikit lalu amalkan, ilmu itu harus aplikatif bukan hanya jadi persepektif. Saya masih berteriak kesana-kemari tentang nasionalisme, dan belajar sedikit demi sedikit, yg kelak akan jadi samudera.
Nah, kali ini saya ingin bercerita sedikit tentang kisah kasih hati saya dalam belajar Nasionalisme kawan. Saya mulai dengan no telp, beberapa kali saya meyakinkan diri dan kawan2, bahwa saya tak akan semuda itu untuk ganti nomor. Tetapi, setelah saya lihat, saya pilah dan pilih, hanya Telkom dan Telkomsel yg merupakan kepemilikan dalam negeri (walau tak 100%, minimal sahamnya maksimal di Indonesia) apalagi ini BUMN. Walhasil saya ganti nomor, mendapat protes, dukungan, dan lain sebagainya. Saya mulai sadar, seberapa nasionalisme itu memang sudah mulai berkurang di Negeri ini, bahkan mulai hilang tanpa bekas kawan. Terbaru, saya juga membeli sebuah kaos, sepatu, kaoskaki, sampai tas karier, juga mencari yang made in Indonesia. Yang paling menyita perhatian adalah baju merah putih, Indonesia, baju yang dipakai p. Andi Malaraeng (MENPORA). Baju itu beberapa kali saya buat kuliah, dan kawan2 sampai dosenpun juga komentar tentang kostum ini. Satu hal kawan, mereka mengakui seberapa dibutuhkan Nasionalisme, rasa cinta akan negeri ini!
Saya memang belum tahu zaman dahulu seperti apa, tapi ketika Indonesia meredeka, sebenarnya kita punya ideologi dan nasionalisme yang tinggi. Dapat dilihat dr pengakuan bangsa-bangsa lain dan beberapa pimpinan memiliki peran penting dalam dunia internasional. Terbaru saya mendengarkan MP3, tentang pidato-pidato yang membakar nasionalisme dari Bung Karno. Sesuatu yang sangat jarang dilakukan para pemimpinan negeri ini, sungguh sangat ironis. Maka, marilah belajar nasionalisme, dari hal kecil yaitu cinta. Begitulah kami rakyat jelata yang belajar nasionalisme. Semoga bermanfaat, salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi…. ^_^
0 komentar:
Post a Comment