Gajah bisa dibilang sebagai ikon provinsi lampung dan kota bandar lampung, waykambas, siapa yang tidak kenal cagar alam ini di indonesia. Sekarang lampung sudah mulai bergeliat dengan perkembangannya. Indonesia memang berpusat perkembangan di daerah jawa, itu saya rasakan ketika Allah memberi kesempatan saya ke Lampung. Daerah yang sangat potensial, tambang batubara, pantai pasir putih, dan kakao yang menjadi tanaman komoditi disana. Daerah pinggiran (pantai atau pelabuhan bakawuni) memiliki dampak yang sangat segnifikan sebagai pintu masuk ke sumatra dan pintu keluar ke merak (pulau jawa), perdagangan dan transportasi mulai menunjukkan perkembangan ekonomi di daerah sekitarnya. Lain halnya dengan daerah kotanya yang mulai menjelma menjadi kota metropolitan, tata kota memang tak sebagus kota-kota dijawa, maklumlah kota yang masih muda. Penghasilan penduduk kotanya sebagian besar adalah usaha, sehingga perputaran uang cukup cepat walaupun tidak ada apa-apanya dibanding dengan ibukota.
Ibukota provinsipun benar-benar menjelma menjadi metropolitan ketika kemacetan mulai jadi masalah rutin disana, kemacetan karena banyaknya kendaraan yang tidak sebanding dengan ruas jalan yang tersedia. Pembangunanpun terus dikebut habis-habisan, sebuah tanda kemajuan yang ingin diraih dengan gedung-gedung pencakar langit, dan perputaran uang yang cepat dalam jumlah besar. Semua menjadi terbalik saat menelusuri daerah pedesaannya, yang pasti lebih desa daripada daerah saya di jawa. Keasrian alam masih lumayan terjaga, maklumlah kotanya saja masih baru, apa lagi desanya, mungkin baru mbabat alas (baru membuka desa yang dulunya hutan). Suasana makin kental dengan pedesaan dengan jalan yang lubang dikiri dan kanan, rumahnya juga masih dua satu itupun harus masuk jalan-jalan lebih alami lagi. Penduduk di provinsi ini lebih banyak berstatus pendatang, mulai dari aceh, padang, madura, india, cina, maluku, sulawesi, tetapi dari jawalah yang paling banyak. Itu terlihat di keluarga besar saya, karena lima dari tujuh saudara ibu saya merantau kepulau tetangga itu.
Saya sempat terbesit pikiran untuk merantau pula seperti beliau-beliau, mencari sesuap nasi dengan usaha sendiri tanpa bantuan sanak saudara di tempat yang asing. Seketika saya teringat sebuah lirik “langit sebagai atap rumahku, dan bumi sebagai lantainya….”, asstagfirullah lagi-lagi negative thinking. Agama juga menjadi sesuatu yang harus disoroti didaerah ini, seperti tempat pendatang pada umum, variasi agama sungguh sangatlah banyak. Mulai daerah pedesaan yang hampir sebagian banyak adalah beragama hindu, bahkan dari keluarga saya yang menganut agama itu. Daerah perkotaan jauh lebih kompleks, yang islam tidak seperti islam, yang kristen hanya untuk mengisi KTP, itu semua karena perputaran uang menjadi sesuatu yang lebih penting daripada perputaran iman dan ibadah pada waktu demi waktu. “uang lebih tajam dari pedang, karena pedang hanya bisa mencabut nyawa, sementara uang bisa membuat tercabutnya iman dan takwa.” Selanjutnya kita melihat pada perkembangan olahraga dan pendidikan, sayangnya saya belum sempat belajar formal disana. Satu poin yang dapat saya ambil, seperti perkembangannya, pendidikan juga masih tertinggal dari daerah jawa. Itupun berbanding lurus di bidang olahraga, olahraga paling populer di dunia (sepak bola) juga masih kurang menggeliat. Stadionpun baru dibangun waktu itu (petengahan 2009), padahal hampir setiap kabupaten di jawa punya stadion yang cukup mungkuni untuk pertandingan besar.
Banyak keindahan di Negeri ini bung, terlalu sia-sia jika tidak kita kenal dan kita cintai. Setiap sudut bumi pertiwi adalah milik kita (walupun kita tidak punya surat tanahnya), karena ini adalah negara kita Indonesia. Di Lampung saya mendapat banyak ilmu, selain indahnya silaturohmi, hunting, dan wisata kuliner tentunya. Ilmu bisa datang dari siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan dalam keadaan seperti apapun. Nasi padang, empek-empek, makanan khas timur tengah yang penuh dengan lemak dari kambing (saya lupa namanya), menjadi sesuatu yang berkesan dimulut saya. Tetapi mulai dari sinilah saya semakin yakin merajut mimpi, ketika buku karya andrea hirata “maryamah karpov” terbaca tuntas. Al-quran adalah the best of kitab, tetapi dari karya tulis ikal saya mulai cinta menulis dan mengembangkan sikap puisitis sekaligus menegakkan mimpi yang sempat bermain petak umpet di otak kanan. Suasana sore menunggu tenggelamnya matahari saya habiskan dengan duduk diloteng lantai dua, duduk dijendela sambil baca titralogi keempat dari laskar pelangi itu. Angin semilir, desertai suara kereta yang 10menit sekali lewat, sinar matahari yang masih hangat-hangat kuku memantul dari tembok Ramayana Swalayan dekat kontrakan bulik saya memperindah suasana setiap sore disana. Apalagi ketika rekaman qiroah mulai berkumandang, hati terasa sangat nyaman, senyum mengembang, konsentrasipun kembali terpusat.
“Terimaksih buat bulik”, singkat saya untuk bulik. Bulik adalah panggilan untuk adek perempuan dari ayah atau ibu, berasal dari kata ibu dan cilik (kecil). Tetapi dalam pelafalannya menjadi bulek, karena huruf “i” dalam bahasa jawa itu sebagian ada yang dibaca “e”, seperti “nggih” inilah penulisan yang benar, akan tetapi dalam lafalnya menjadi “nggeh”. Karena biaya saya balik dan hidup disana ditanggung oleh bulik, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Inilah sedikit tentang lampung yang mulai menjelma menjadi gajah yang perkasa, semoga para pemimpinnya tidak mengobankan alam dan lingkungan untuk alasan kemajuan. Karena kemajuan tidak hanya terlihat dari pembangunan saja, melainkan dari stabilitasan pembangunan dan lingkungan itu sendiri. Hijau negeri kita, dan jangan ragu mengatakan merdeka karena dengan kata demangat kita kembali membara.
Saya sempat terbesit pikiran untuk merantau pula seperti beliau-beliau, mencari sesuap nasi dengan usaha sendiri tanpa bantuan sanak saudara di tempat yang asing. Seketika saya teringat sebuah lirik “langit sebagai atap rumahku, dan bumi sebagai lantainya….”, asstagfirullah lagi-lagi negative thinking. Agama juga menjadi sesuatu yang harus disoroti didaerah ini, seperti tempat pendatang pada umum, variasi agama sungguh sangatlah banyak. Mulai daerah pedesaan yang hampir sebagian banyak adalah beragama hindu, bahkan dari keluarga saya yang menganut agama itu. Daerah perkotaan jauh lebih kompleks, yang islam tidak seperti islam, yang kristen hanya untuk mengisi KTP, itu semua karena perputaran uang menjadi sesuatu yang lebih penting daripada perputaran iman dan ibadah pada waktu demi waktu. “uang lebih tajam dari pedang, karena pedang hanya bisa mencabut nyawa, sementara uang bisa membuat tercabutnya iman dan takwa.” Selanjutnya kita melihat pada perkembangan olahraga dan pendidikan, sayangnya saya belum sempat belajar formal disana. Satu poin yang dapat saya ambil, seperti perkembangannya, pendidikan juga masih tertinggal dari daerah jawa. Itupun berbanding lurus di bidang olahraga, olahraga paling populer di dunia (sepak bola) juga masih kurang menggeliat. Stadionpun baru dibangun waktu itu (petengahan 2009), padahal hampir setiap kabupaten di jawa punya stadion yang cukup mungkuni untuk pertandingan besar.
Banyak keindahan di Negeri ini bung, terlalu sia-sia jika tidak kita kenal dan kita cintai. Setiap sudut bumi pertiwi adalah milik kita (walupun kita tidak punya surat tanahnya), karena ini adalah negara kita Indonesia. Di Lampung saya mendapat banyak ilmu, selain indahnya silaturohmi, hunting, dan wisata kuliner tentunya. Ilmu bisa datang dari siapa saja, kapan saja, dimana saja, dan dalam keadaan seperti apapun. Nasi padang, empek-empek, makanan khas timur tengah yang penuh dengan lemak dari kambing (saya lupa namanya), menjadi sesuatu yang berkesan dimulut saya. Tetapi mulai dari sinilah saya semakin yakin merajut mimpi, ketika buku karya andrea hirata “maryamah karpov” terbaca tuntas. Al-quran adalah the best of kitab, tetapi dari karya tulis ikal saya mulai cinta menulis dan mengembangkan sikap puisitis sekaligus menegakkan mimpi yang sempat bermain petak umpet di otak kanan. Suasana sore menunggu tenggelamnya matahari saya habiskan dengan duduk diloteng lantai dua, duduk dijendela sambil baca titralogi keempat dari laskar pelangi itu. Angin semilir, desertai suara kereta yang 10menit sekali lewat, sinar matahari yang masih hangat-hangat kuku memantul dari tembok Ramayana Swalayan dekat kontrakan bulik saya memperindah suasana setiap sore disana. Apalagi ketika rekaman qiroah mulai berkumandang, hati terasa sangat nyaman, senyum mengembang, konsentrasipun kembali terpusat.
“Terimaksih buat bulik”, singkat saya untuk bulik. Bulik adalah panggilan untuk adek perempuan dari ayah atau ibu, berasal dari kata ibu dan cilik (kecil). Tetapi dalam pelafalannya menjadi bulek, karena huruf “i” dalam bahasa jawa itu sebagian ada yang dibaca “e”, seperti “nggih” inilah penulisan yang benar, akan tetapi dalam lafalnya menjadi “nggeh”. Karena biaya saya balik dan hidup disana ditanggung oleh bulik, semoga Allah membalasnya dengan kebaikan. Inilah sedikit tentang lampung yang mulai menjelma menjadi gajah yang perkasa, semoga para pemimpinnya tidak mengobankan alam dan lingkungan untuk alasan kemajuan. Karena kemajuan tidak hanya terlihat dari pembangunan saja, melainkan dari stabilitasan pembangunan dan lingkungan itu sendiri. Hijau negeri kita, dan jangan ragu mengatakan merdeka karena dengan kata demangat kita kembali membara.
0 komentar:
Post a Comment