Berfose di depan pintu masuk UNEJ. :) |
Nah, perjalanan kami dimulai pada hari kamis (16/2 ’12), sore hari tepatnya jam empat sore. Kami putuskan untuk mampir dahulu kerumah saudara Hoido Rillah (namanya japanise banget ya?), di daerah Gondang Legi, Malang Kabupaten (belum dibuatkan postingan ketika di malang, maaf kawan, :D ). Yuh, sambil silaturohim, namanya juga kawan sejak semester satu, sekalian numpang makan gratis kawan, maklum modal kere. :D | Sambil ngobrol “ngetan ngulon” (ketimur kebarat, b.jawa) kami mebahas tentang keadaan setelah lama tak bersua, nah akhirnya besok paginya kami berangkat ke Jember. Melewati Lumajang sebenarnya, tapi berdasarkan kesepakatan bersama, kami berangkat dahulu ke Jember.
Pintu masuk daerah jember ada setelah jembatan di sungai yang tak terlalu besar. Akhirnya foto-foto dahulu kawan, narsis untuk eksis dengan kamera Handycam baru. :D | setelah masuk daerah Jember, kesan pertama memang panas kawan, bahasa kerennya hangat. Jadi mengingatkan keadaan di Porong Sidoarjo, (baca ‘lautan lumpur, Sidoarjo’). Kami terus menggeber kendaraan (Jupiter MX, semoga segera ada motor nasional, amin), tepatnya saya, karena hanya saya terus yang ada didepan, teman saya ini tak bisa mengendarai motor kopling. Dengan motor ini juga saya touring ke jateng, (baca ‘Solo itu Surakarta’, ‘Semarang ibu kota jateng’, ‘Indahnya Yogyakarta’). Subhanallah dah, terus-terusan maju tanpa henti, tanya kiri-kanan, kok tak nyampai-nyampai kota. Targetnya adalah kota kawan, karena mau lihat sedikit tentang kampus-kampus disekitar sana.
Indahnya di pantai Watu Ulo (Ulonya disebelahnya). |
Menggeber kendaraan diatas 80KM/jam itu wajib, kalau sedang tiada halangan ya 110KM/jam. Akhirnya sampailah kami ke alun-alun Jember, tepat waktunya untuk sholat jum’at kawan. Langsung dah ke masjid setelah parkir, sambil angkat pantat kiri kanan, karena sudah kepanasan dan kecapaian. Satu hal yang terkenang adalah, alun-alun yang berada ditengah kota, sebelah masjid jami’ Jember. Alun-alun itu ditanami oleh pohon kelapa, itu yang ada otak, diatas leher manusia (kepala, Red). Yang akhirnya saya mulai berfilosofi tentang kota ini dan pohon kelapanya. Lanjut ke masjid Jami’nya, saya lupa nama masjidnya kawan (ntar tak searching dulu ya sob) :D. Nah, desainnya itu, mbois, mirip dengan gedung DPR RI di Jakarta sana, mungkin hanya kalah megah, kalah besar, tetapi tidak kalah berkah, insyaAllah.
Jamaah sangatlah banyak, saya dan Sago memilih diluar saja, kerena memang ngantuk setengah sadar. Disampingnya juga masih bisa di isi dua sampai tiga orang jamaah, karena keadaannya tidak lurus, miring kawan (temboknya, bukan alasnya). Yang lebih menarik adalah ada lantai dua di masjid jami’ ini, tetapi seperti biasa, tidak bisa masuk, hanya bisa disampingnya, melihat ketangga sampai separuh. Spesial sekali ketika keluar dari masjid, ada es krim gratis untuk para jamaah, subhanallah ini mah, perlu dikembangkan di kampung halaman. Nah, selanjutnya kami berjalan ke UNEJ (Univeritas Negeri Jember, Red). Ini nanti akan dibahas pula sedikit disini, tapi banyak di hunting kampus, nantinya saja kawan. OK? ;)
Diatas Watu Ulo, itu papan dibelakang saya adl pembatasnya. |
Kami lanjutkan perjalanan ke pantai “watu ula” (bisa diartikan batu ular), lalu melanjutkan ke “tanjung papuma”. Di watu ula, keadaan cukup memadai, jalan nyaman, lurus dan loket masukpun dijaga yang memiliki tiga shift. Kami mengorek sedikit keterangan watu ulo dari bapak penjaga loket, bagaimana keadaan di malam hari dan lain sebagai. Seusai bercakap-cakap dikit, kami memasuki area watu ula, subhanallah, banyak sapinya euy. :D | Ternyata di daerah pantai memang banyak juga yang memelihara sapi kawan, itu kata Sago juga. Maklum saya tinggal di kabupaten tengah jawa, ke pantai jauh, jadi anak gunungan, bukan anak pantai (kunjungi saja Visit Magetan). Nah, kami sengaja mencari tempat yang nyaman, lalu memarkir sepeda motor (pinjaman) dibawah pohon waru (daunnya berbentuk hati, keren buat ngelamar tuh :D). Seperti biasa, sago memasukkan pasir ke plastik, saya memasukkan batu, dan kami menikmati pemandangan di watu ula.
Batunya memang mirip ular, konon itu ular yang menuju laut kidul (Samudera Hindia). Di kalangan orang jawa mah, namanya laut kidul sudah menjadi sumber pembicaraan dari zaman nenek dan kakek kami. Ada tulisan pembatas sih untuk tidak melewati itu, kamipun melewatinya saja, maklum kawan, “darah muda, darahnya para remaja” (jadi nyanyi lagunya bang R Homa). Di depan pembatas ada bau kemenyan dan juga bunga plus beberapa sesajen, jawa banget, ritual nenek moyang. Kami nikmati saja pemandangan sambil berfoto ria, ternyata hari yang semakin sore membuat ombak mulai pasang, ombak besar menerjang “Byyyuuuuurrrrrr”. Aha, Sago basah separuh badan, sementara saya hanya sebagian badan, kami lanjutkan beberapa foto lalu kembali. Kami cari makan dulu di warung dekat parkir motor, sambil titip charger HP, Handycam juga, setelah makan saya tidur sebentar, karena masih jam 3an. Alhamdulillah sebelum jam 4 (sore), kami selesai, bayar makan dan minum (mahal jeh, tempat wisata euy). Lanjut dah ke Musholla untuk sholat ashar berjamaah, agak kelewat waktu sie, Astagfirullah, gimana mau deket ama Allah, suka ngolor-ngolor waktu sholat gini.
Kami lanjutkan ke “Tanjung papuma”, nah, ini juga istimewa banget kawan. Karena sampai sana sudah hampir jam 5an (sore), hari sudah hampir gelap, kami masuk bayar loket per @ kena Rp. 12.000,- (murah sie, kalau ada duit :D ). Jalannya cukup menanjak dan turun, tapi pemandangannya subhanallah, pasir putih, beberapa perahu nelayan, pulau-pulau kecil disekitar tanjung, dan ada klentengnya, tapi kok g’ada masjidnya? *garuk2 kepala. Kami jalan menelusuri rute yang sudah disediakan, ada beberapa tempat wisata di tanjung papuma, banyak euy, tapi karena waktu sudah sore tak mungkin kami ambil alih semua. Bisa sampai jam 8malam kalau semua di hampiri, penerangan juga masih minim disana. Kami putuskan mencari puncak tanjung, namanya siti apa gitu, lupa saya, tapi ada sitinya (bukan Siti Hawa, itu istri Nabi Adam). Masih banyak kucing dan juga ada monyet disana, kamipun melewati sun set, di hamparan samudera Hindia, seberang agak ke tenggara sana ada Australia.
Kami pulang lah dari tempat wisata ini, menuju Lumajang, dan akan tidur di tempat favorit (pom bensin, SPBU terdekat). Dalam perjalanan kembali, sambil komat-kamit baca dzikir, sholawat, asmaul husna, saya berpikir tentang apa yang bisa saya ambil dari Jember ini (poin utama). Akhirnya mulailah saya menyimpulkan tentang filosofi pohon kelapa, why? Baru kali ini lihat alun-alun banyak pohon kelapanya, disekitar jalan selalu melihat kelapa di kanan-kiri jalan. Itulah jember, selalu menghasilkan sesuatu yang luar biasa, memiliki manfaat disetiap sisinya, walaupun akar serabut tapi bisa bertahan lama. Begitu pula orang-orangnya, mereka punya cara hidup yang survive, bisa bertahan disemua alam, keadaan dan mampu memberi manfaat disetiap inci kehidupan.
Keelokannya indah dipandang mata, kesegaran dugannya selalu butuh timing yang tepat, janur kuning mudanya menandakan sebuah hajatan bahagia (pernikahan), batangnya juga kayu yang kuat, dan akarnya bisa jadi media untuk tanaman yang mungkuni. Berbeda dengan kami orang magetan yang punya filosofi pinus (kalau yang ini, tunggu saja nanti postingannya). Tak terasa sampai pom bensin di dekat perempatan (jika lurus ke UNEJ, belok kanan ke kolam renang yang besar itu, kiri lumajang), kami mampir pom, sholat magrib, mandi, lalu sholat isa dan baca Al-quran. Alhamdulillah, mulai akhir-akhir ini, hunting kemanapun saya bawa Al-quran, sebagai bawaan wajib, biar selalu ingat Allah & bisa belajar dimanapun kapanpun, target jadi Hafidz jg bisa kelaksana. Aminnnn,,, sekian dulu, moga manfaat, salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi… ^_^
Batunya memang mirip ular, konon itu ular yang menuju laut kidul (Samudera Hindia). Di kalangan orang jawa mah, namanya laut kidul sudah menjadi sumber pembicaraan dari zaman nenek dan kakek kami. Ada tulisan pembatas sih untuk tidak melewati itu, kamipun melewatinya saja, maklum kawan, “darah muda, darahnya para remaja” (jadi nyanyi lagunya bang R Homa). Di depan pembatas ada bau kemenyan dan juga bunga plus beberapa sesajen, jawa banget, ritual nenek moyang. Kami nikmati saja pemandangan sambil berfoto ria, ternyata hari yang semakin sore membuat ombak mulai pasang, ombak besar menerjang “Byyyuuuuurrrrrr”. Aha, Sago basah separuh badan, sementara saya hanya sebagian badan, kami lanjutkan beberapa foto lalu kembali. Kami cari makan dulu di warung dekat parkir motor, sambil titip charger HP, Handycam juga, setelah makan saya tidur sebentar, karena masih jam 3an. Alhamdulillah sebelum jam 4 (sore), kami selesai, bayar makan dan minum (mahal jeh, tempat wisata euy). Lanjut dah ke Musholla untuk sholat ashar berjamaah, agak kelewat waktu sie, Astagfirullah, gimana mau deket ama Allah, suka ngolor-ngolor waktu sholat gini.
Kami lanjutkan ke “Tanjung papuma”, nah, ini juga istimewa banget kawan. Karena sampai sana sudah hampir jam 5an (sore), hari sudah hampir gelap, kami masuk bayar loket per @ kena Rp. 12.000,- (murah sie, kalau ada duit :D ). Jalannya cukup menanjak dan turun, tapi pemandangannya subhanallah, pasir putih, beberapa perahu nelayan, pulau-pulau kecil disekitar tanjung, dan ada klentengnya, tapi kok g’ada masjidnya? *garuk2 kepala. Kami jalan menelusuri rute yang sudah disediakan, ada beberapa tempat wisata di tanjung papuma, banyak euy, tapi karena waktu sudah sore tak mungkin kami ambil alih semua. Bisa sampai jam 8malam kalau semua di hampiri, penerangan juga masih minim disana. Kami putuskan mencari puncak tanjung, namanya siti apa gitu, lupa saya, tapi ada sitinya (bukan Siti Hawa, itu istri Nabi Adam). Masih banyak kucing dan juga ada monyet disana, kamipun melewati sun set, di hamparan samudera Hindia, seberang agak ke tenggara sana ada Australia.
Sun set at Tanjung Papuma, jember, so beauty. ^_^ |
Kami pulang lah dari tempat wisata ini, menuju Lumajang, dan akan tidur di tempat favorit (pom bensin, SPBU terdekat). Dalam perjalanan kembali, sambil komat-kamit baca dzikir, sholawat, asmaul husna, saya berpikir tentang apa yang bisa saya ambil dari Jember ini (poin utama). Akhirnya mulailah saya menyimpulkan tentang filosofi pohon kelapa, why? Baru kali ini lihat alun-alun banyak pohon kelapanya, disekitar jalan selalu melihat kelapa di kanan-kiri jalan. Itulah jember, selalu menghasilkan sesuatu yang luar biasa, memiliki manfaat disetiap sisinya, walaupun akar serabut tapi bisa bertahan lama. Begitu pula orang-orangnya, mereka punya cara hidup yang survive, bisa bertahan disemua alam, keadaan dan mampu memberi manfaat disetiap inci kehidupan.
Keelokannya indah dipandang mata, kesegaran dugannya selalu butuh timing yang tepat, janur kuning mudanya menandakan sebuah hajatan bahagia (pernikahan), batangnya juga kayu yang kuat, dan akarnya bisa jadi media untuk tanaman yang mungkuni. Berbeda dengan kami orang magetan yang punya filosofi pinus (kalau yang ini, tunggu saja nanti postingannya). Tak terasa sampai pom bensin di dekat perempatan (jika lurus ke UNEJ, belok kanan ke kolam renang yang besar itu, kiri lumajang), kami mampir pom, sholat magrib, mandi, lalu sholat isa dan baca Al-quran. Alhamdulillah, mulai akhir-akhir ini, hunting kemanapun saya bawa Al-quran, sebagai bawaan wajib, biar selalu ingat Allah & bisa belajar dimanapun kapanpun, target jadi Hafidz jg bisa kelaksana. Aminnnn,,, sekian dulu, moga manfaat, salam dari Sang Penggembala, Tyas Haryadi… ^_^